Wartawan Bodrek VS No Telepon


Dalam setiap meeting evaluasi dengan tim di Markas, saya selalu memulai dengan menggambar satu garis horizontal di white board. Selanjutnya, saya menatap satu persatu wajah-wajah yang (selalu) sumringah meski lelah. Sejenak kemudian saya akan memutuskan, apakah ujung spidol saya letakkan di atas garis atau di bawah garis horizontal tersebut.

Garis horizontal adalah standar kualitas yang saya tetapkan untuk setiap pekerjaan.

Jadi, membaca hasil evaluasi saya cukup mudah.
Nama-nama project yang saya tulis di atas garis, artinya memiliki kinerja yang cukup baik. Demikian sebaliknya.

Hari ini, saya kembali melakukan evaluasi mingguan, setelah nyaris sebulan lebih saya melalaikan aktifitas ini. Belakangan pekerjaan seperti tidak ada kata selesai. Satu belum kelar, eh datang lagi yang lain. Beruntung Markas diisi oleh orang-orang yang tidak rewel dengan jam kerja. Tinggal saya yang harus laporan mengenai jam kerja mereka dan kompensasi yang harus diterima (huhh….masih ada PR ternyata L
Seperti biasa, saya kembali menggambar satu garis horizontal.

Dengan penuh percaya diri, saya mulai menulis di bawah garis tersebut. Wajah-wajah itu masih tersenyum, lalu sejurus kemudian cengar – cengir. Begitulah tabiat penghuni markas disini, mau diomelin, respon pertama mereka adalah nyengir. Sangat jarang saya melihat wajah-wajah masam setelah saya panggil dan saya complain soal pekerjaan. Cengiran berarti menyadari kekeliruan dan mereka memperbaiki kesalahan, sikap yang membuat saya tidak bisa kesal berlama-lama. Mereka semua mau belajar.

Saya kemudian melanjutkan dengan kalimat: Load kerja memang melebihi batas,  saya juga jarang mengontrol, tapi bukan berart pengerjaan project mengalami penurunan

Akhirnya saya berceramah ½ sks saja. (di hadapan penghuni markas saya pikir tidak perlu berceramah panjang lebar, kita semua sudah dewasa)

Sebelum menutup ceramah, saya sempat menarik perkataan atas standar  Ika  calon yang saya sedang proyeksikan sebagai Media Relation, yang juga berada di bawah garis. Ia  baru saja melakukan satu kesalahan fatal namun ternyata ada untungnya juga.  (Tapi kesalahan tetap saja kesalahan, tidak ada excuse untuk itu)

Dua minggu yang lalu, ada satu konferensi pers (konpers) yang datang tib-tiba. Saya hanya memiliki waktu 3 hari untuk persiapan. Seperti biasa, untuk pekerjaan konpers, saya sudah percayakan kepada Ika untuk urusan dengan media, terutama mengundang media.

H-2, draf undangan yang sudah dibuat sebelumnya mendapat persetujuan dari klien untuk segera di sebar. Saya pun meminta Ika agar segera mengirim undangan tersebut.

7 jam sebelum konpers di mulai, saya mendapat laporan dari klien bahwa ada wartawan yang mengatakan no telp untuk konfirmasi kehadiran yang tertera pada undangan media tak bisa di hubungi. Selain mencantumkan no telp dari Markas (biasanya no saya atau Ika), saya juga mencantumkan no telp klien pada undangan apabila mereka bersedia.

Segera saya mengecek nomor Ika yang tertera pada undangan . “Nomor telepon yang anda tuju tidak dapat dihubungi”

Saya buka phonebook, mengecek nomor tersebut. Damn!!! Nomor yang tertera di undangan berjumlah 13. Sementara di phonebook saya, nomor telepon Ika hanya 12 angka.
Singkat kata, saya meminta Ika menghubungi seluruh redaksi yang sudah dikirim undangan dan melakukan ralat no kontak.

Saya marah, kesal. Tidak habis pikir, bahkan nomor telepon sendiri saja bisa salah.
Tapi, marah-marah pada saat itu pun tak ada gunanya. Lagipula rasa malu saya kepada klien lebih besar daripada keinginan untuk marah. Sebagai PR, itu adalah kesalahan fatal menurut saya.

Selain mengutuki diri atas kesalahan bodoh tersebut, hal lain yang saya khawatirkan adalah wartawan. Lokasi konpers kali ini bukanlah di tempat-tempat yang familiar bagi wartawan. Saya saja beberapa kali ke sana masih saja nyasar. Sebelumnya saya sudah membayangkan akan sangat banyak wartawan yang menanyakan arah/ rute. Lalu, bagaimana kalau mereka tidak bisa menghubungi contact person? Bisa-bisa mereka balik arah. Duh!!! Target kehadiran media yang sebelumnya saya yakini akan tercapai mendadak buyar. Saya lemas seketika.

1 jam menjelang konpers benar-benar penyiksaan. Saya bolak – balik menghitung wartawan yang hadir. Saya bahkan menginfo ke beberapa teman wartawan mengenai ralat no telp, dan bahkan menulis patokan lokasi konpers di status BBM. Semoga wartawan tidak nyasar, doa saya.

30 menit sebelum jadwal konpers di mulai. Wartawan masih sepi. Tidak apa-apa, biasanya juga pada telat. Saya menghibur diri. Ika saya lihat duduk diam di meja registrasi sambil memutar-mutar handphonenya. Saat ini, dia pasti sedang menunggu wartawan yang menelepon menanyakan lokasi dan arah.  Biasanya, untuk acara konpers, dia adalah orang yang paling ribut bolak-balik dan teleponnya paling sering berbunyi meladeni pertanyaan wartawan tentang lokasi, arah/ rute dan acara.. Tapi kali ini dia hanya diam sambil memandang daftar hadir. Saya tau dia sedang menyesali kekeliruannya, memandangi handphone yang tidak berbunyi sama sekali Saya akhirnya sibuk menyiapkan materi dengan klien dan narasumber.

Begitu konpers di mulai, wartawan pun mulai masuk ke ruangan. 1, 2, 3…7, 8….20.. wowww...ruangan ternyata penuh. Kehadiran media melebihi yang saya targetkan. Konpers pun berjalan lancar, dan yang pasti, teman-teman media terlihat antusias dengan topik yang di bahas :)

Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun saya tak lupa melihat wajah-wajah wartawan satu persatu. Mencoba mengenali dan mengingat dan yag pasti mencari muka-muka (maaf) 'bodrek'. Bodrek, istilah untuk wartawan yang tidak memiliki media/ medianya terbit tidak rutin. Wartawan bodrek biasanya datang ke satu acara kemdian meminta jatah transportasi atau biaya penayangan berita. Praktek segelintir orang inilah yag menyebabkan image wartawan menjadi negatif bagi sebagian besar orang. Wartawan dari media yang betulan, tidak akan melakukan praktik semacam itu.

Saya tidak menemukan muka-muka 'bodrek' itu (hahaha....ciri-cirinya gampang banget kok :p )

Usai acara, saya pun mengecek daftar hadir. Ada 22 wartawan, dan semua dari media yang saya masukkan ke dalam kategori media betulan. Daftar hadir kali ini bersih dari bodrek. Hebat

Jujur saja, ini kali pertama konpers ataupun acara media yang saya handle bersih dari bodrek. Biasanya, setidaknya ada 1 bodrek yang hadir dan mengejar-ngejar saya. Bahkan dalam 1 konpers 1 bulan yang lalu, saya dikejar 6 orag 'bodrek'  (udah pada tua-tua padahal, masih aja ckckckc...)

Dalam hal menyelenggarakan acara media, hal yang tidak bisa kita hindari adalah meluasnya undangan acara. Meski acara bersifat tertutup, dan wartawan yang hadir di batasi, tetap saja wartawan yang tidak diundang tapi mengetahui adanya acara akan protes, bahwa PR membatasi hak wartawan untuk meliput.

Begitulah repotnya posisi PR, terutama divisi Media Relation. Bak makan buah simalakama. Di satu sisi dia harus memenuhi maunya klien, namun di sisi lain, yang dipertaruhkan adalah hubungan baik dengan media. Tidak masalah jika yang diselenggarakan adalah acara terbuka. Tapi repot urusan jika klien menginginkan media tertentu saja, atau membatasi jumlah media. Sementara kita pun tidak bisa memaksa wartawan yang diundang mengerem mulutnya untuk tidak menyebarkan info kegiatan.

Saya pikir, berbagi info acara adalah aturan tak tertulis di kalangan wartawan. Meski jualan wartawan adalah liputan ekslusif, tapi intinya tetap saja tidak boleh pelit.

Nah, dalam kasus konpers kali ini, bukannya undangan tak tersebar. Justru undangan tersebut tersebar sangat luas, di milis-milis wartawan ataupun melalui BBM broadcast. Masalahnya adalah, mereka (bodrek), kesulitan menghubungi Ika (wkwkwkwkkw....... *ketawa ngakak)


Pengakuan dari satu teman wartawan yang sempat menyebarkan undangan liputan itu, bahwa ada beberapa wartawan yang tidak menyebutkan nama medianya menanyakan apakah Mba Ika punya nomor telepon lain, karena no yang tertera di undangan tidak bisa di hubungi. Beruntung, si wartawan tersebut memang tidak mengetahui nomor Ika yang lainnya.


Pertama, mereka kesulitan menemukan lokasi. Kedua, mereka kesulitan menghubungi Ika. Akhirnya, mereka menyerah. Wartawan bodrek gampang menyerah, karena tujuannya hanya mendapatkan uang.
Nah, ini perbedaan mendasar antara wartawan beneran dengan wartawan boongan itu.

Kalau wartawan yang benar, mereka liputan berdasarkan perintah redaksi/ redakturnya. Mau lokasinya susah di cari, nomor kontak tidak bisa di hubungi, tidak ada alasan untuk tdk liputan. Meski hujan badai bumi gonjang ganjing, wartawan harus menemukan tempat liputannya dan pulang membawa berita. That's it. Selain itu, karena bergerak berdasarkan perintah atasan, wartawan pastinya melakukan survei terlebih dahulu, terutama mengenai lokasi.

Sementara para 'bodrek', mendapatkan info acara hanya berdasarkan sebaran undangan di grup wartawan, milis ataupun dari mulut ke mulut. Terkadang mereka tidak mendapatkan info acara secara utuh, that's why mereka butuh nomor komtak penyelenggara acara. Biasanya, beberapa jam sebelum acara dimulai mereka menelpon, menanyakan narasumber, lokasi atau bahkan ada yang menanyakan apakah ada souvenir dan uang transportanya. Jika ada pertanyaan seperti ini, maka tidak perlu ragu lagi untuk menyatakan nomor yang menghubungi adalah nomor 'bodrek'. *langsung blokir saja heheheh...

Double check dan ketelitian, adalah dua hal yang selalu diajarkan oleh senior-senior saya di Markas. Itu pula yang saat ini selalu saya tekankan dengan tim. Kekeliruan kali ini, memang membawa hikmah (sekaligus memberi pelajaran kepada para 'bodrek'), namun bukan berarti saya bisa menjadikan hal itu sebagai  excuse untuk membenarkan satu kesalahan. Apapun itu, SOP yang ada tetaplah harus di terapkan.

Saya berharap, meeting evaluasi selanjutnya, saya akan menorehkan spidol di atas garis horizontal yang selalu saya gambar di white board.



Komentar

Postingan Populer