Catatan Galau

Saat makan di sejumlah foodcourt di Singapura, selalu terlihat pemandangan kakek-kakek dan nenek-nenek yang menjadi pelayan, petugas kebersihan ataupun yang mengelap meja. Kelihatannya, merekalah tenaga kerja yang diimpor dari China, yang dipekerjakan di Singapura karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi Melayu. Mungkin karena China sudah kepenuhan penduduk, mungkin juga karena orang China adalah pekerja keras, meskipun sudah kakek nenek. Entahlah

Pada saat itu, saya bertanya-tanya, kira-kira apa yang ada di pikiran kakek nenek ini? Seperti apa kehidupan mereka di negeri rantau ini?

Sambil menikmati sepiring nasi lemak yang tidak cocok di lidah, saya coba menerka-nerka. Seperti rutinitas warga Singapura pada umumnya, mereka pasti sudah berangkat kerja pukul 6.30 , saat dimana matahari belum sepenuhnya muncul di sana. jalanan masih gelap. Hingga 12 jam ke depan, mereka akan sibuk dengan aktivitas di tempat kerja. Tidak perlu banyak cakap karena pengunjung restoran dan foodcourt di sana tak pernah sepi. Tapi mereka bisa beristirahat barang 1 - 2 jam untuk emnikmati makan siang.

Meski katanya jam kerja di sana 12 jam/ hari, tapi saya pernah bertemu nenek pelayan yang sama pada saat saya menikmati sepiring nasi goreng untuk makan malam jam 8 malam. Padahal, di saat sarapan pagi, saya juga melihat sang nenek membersihkan piring piring kotor di satu meja. Atau barangkali dia sedang lembur?

Saya lanjutkan membayangkan kehidupan perantau Negeri China itu. Saat pulang ke rumah - yang disana kebanyakan berbentuk flat, kakek - nenek pekerja itu punya sedikit waktu untuk berbenah, membersihkan diri kemudian bersiap untuk istirahat. Bisa jadi mereka menyalakan TV sebagai penghantar tidur, atau membaca buku-buku filsafat kebaikan. Beberapa saat kemudian terlelap hingga pagi.

Di saat hari libur, mungkin ada kesempatan untuk berjalan-jalan di taman sambil memberi makan burung-burung - anehnya saya melihat banyak sekali burung jalak di sana. Sembahyang di klenteng atau menulis surat untuk dikirim ke anak-cucu yang masih berada di tanah kelahirannya.

DI akhir bulan, waktunya menerima upah. Mungkin mereka menerima sekitar 1.000 - 1.200 SGD - ini hanya perkiraan saya. Mereka mulai memilah-milah kebutuhan. Untuk keperluan harian , untuk dikirim ke anak cucu dan sedikit tersisa untuk di tabung. Lalu kemudian rutinitas berlanjut seperti biasa.

Saya bertanya-tanya, apakah benar hari-hari yang mereka jalani sedatar ekspresi mereka? apakah mereka tidak punya keinginan? misalnya, ingin kembali ke tanah kelahirannya? Atau bisa juga memang mereka sudah tidak menginginkan apa-apa. Tidak ingin kembali juga karena memang tidak ada keluarga yang menginginkannya kembali, atau jangan-jangan mereka sudah sebatang kara?

Jalani hidup dengan baik, bekerja dengan baik untuk mendapatkan kebaikan dari leluhur disaat ajal nanti menjemput. Demikian saya coba rangkai asumsi-asumsi saya.

Saat ini, saya merasa seperti mereka, kakek-nenek yang diimpor dari China. Yang terfikirkan hanya menjalani rutinitas biasa, bangun, bersiap ke kantor, bekerja, pulang terlambat karena selalu ada hal-hal yang harus dikerjakan di saat sore tiba, berbenah, menyalakan TV lalu membaca buku dan terlelap hingga pagi tiba. Di saat akhir pekan, waktunya  mencuci baju lalu jalan-jalan dengan sepeda hingga sore tiba.

Saat akhir bulan tiba, waktunya rekening kembali terisi. Saat itu pula segala post harus di bagi, transportasi, listrik, asuransi, pulsa HP dan modem, untuk mama dan Jia, jatah beli buku dan sedikit tersisa untuk di tabung. Mungkin sesekali, saya ingin pergi ke satu tempat, maka tabunganpun kembali menipis. Demikian seterusnya. Rutinitas tanpa obsesi. Saya menjadi tidak berambisi. Tidak menginginkan apa-apa kecuali menjalani hari apa adanya. Seperti kakek - nenek yang sudah membuang harapan untuk kembali ke kampung halamannya.

Komentar

Postingan Populer