Bisakah Kita Berkorban Sekarang untuk Anak Cucu Hidup Lebih Baik?
Sepertinya tidak ada yang bisa berjalan tertib di Negara ini.
Entah memang mental pemerintahnya yang kadung bobrok, ataukah rakyat yang juga semaunya.
Keduanya saling membantu menghasilkan hubungan yang senantiasa diwarnai
perselisihan.
Beberapa hari ini, media disibukkan dengan berita
penggusuran. Ratusan warga di sekitar waduk Pluit di gusur dengan alasan
normalisasi waduk yang semakin hari semakin mengalami pendangkalan. Puluhan
kios di stasiun Univ Indonesia, dan juga beberapa stasiun lainnya ikut di gusur
dalam rangka pemberlakukan e-ticket. Dan masih banyak cerita
penggusuran-penggusuran lainnya. Meski cerita berbeda, namun tujuan dan hasil
penggusuran biasanya sama: untuk pembangunan. Hasilnya: bentrok petugas dengan
warga. Sedihnya, media massa pun ikut mendramatisir keadaan. Ckckckkc....
Konon kabarnya, luas waduk Pluit adalah 88 hektar dengan
kapasitas tampungan air 2,5 juta meter kubik. Waduk ini selesai dibangun pada
1981 yang dimanfaatkan untuk menampung air disaat musim hujan mengguyur
ibukota. Pesatnya pembangunan ibukota, dan pertumbuhan penduduk akhirnya
menyebabkan pendangkalan. Pada 2004, Waduk pluit memiliki endapan lumpur
setinggi 1 meter atau 800.000 meter kubik. Karena 1/3 kapasitas waduk tersebut sudah
terisi lumpur, maka fungsi sebagai antisipasi banjir di Jakarta pun menurun.
Maka tak heran, banjir menjadi pemandangan yang biasa di ibukota.
Baru-baru ini, kebijakan pemprov DKI Jakarta yang di gawangi
oleh guburnur ngetop Joko Widodo alias Jokowi memutuskan untuk melakukan
normalisasi waduk Pluit. Selain pengerukan, ratusan rumah yang berada disekitar
waduk tersebut harus di relokasi. Mudah ditebak: warga menolak. Alasannya: kami
sudah hidup puluhan tahun disini. Melihat ada warga yang teraniaya, Komnas HAM
tiba-tiba muncul untuk mempertahankan hak asasi warga yang direbut oleh Jokowi.
Cerita lain datang dari para pedagang di sekitar stasiun
kereta Universitas Indonesia. Rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI)
memberlakukan e-ticketing menuntut pembenahan pada setiap stasiun kereta. Tentu
saja, kios-kios yang biasanya menjadi pemandangan resmi stasiun kereta akan
dibongkar, dengan atau tanpa persetujuan pemilik kios. Pedagang akan direlokasi
ke tempat lain. Alasannya: demi perbaikan moda tranportasi dan meningkatkan kenyamanan pengguna KRL. Selanjutnya
stasiun akan dibangun kembali dengan dilengkapi perangkat gate elektronik
sebagai pintu masuk dan keluar.
Bisa dipastikan, visi Pemkot Depok itu pun tak berjalan
lancar. Para pedagang protes karena merasa lahan usahanya tercerabut. Melihat
adanya ketidak adilan terhadap para pedagang, mahasiswa Universitas Indonesia,
yang memang sangat akrab dengan lingkungan tersebut pun turun tangan. Mereka
menggelar aksi protes dan bentrok kecil dengan aparat pun tak dapat dihindari.
Jika dipikir-pikir, kita sekarang boleh memberi apresiasi terhadap
pemerintah yang sudah mulai berfikir jangka panjang dan berani bersikap. Pastinya, mereka sudah mengkaji
akan adanya efek dari penggusuran, protes warga lalu akhirnya mereka akan
dituding bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Jika Jokowi tetap
mempertahankan citra “membumi” dihadapan masyarakat Pluit, mungkin hingga sisa
kepemimpinannya ia masih akan sibuk dengan banjir di Jakarta. Padahal, masih
banyak persoalan warga yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi warga Pluit yang
dulu mencoblos cagub berbaju kotak-kotak itu, barangkali sekarang mereka baru
menyesali pilihan. Jika PT. KAI hari ini tidak mengambil langkah pemberlakukan
e-ticketing, mungkin hingga puluhan tahun sejarah transportasi di Jakarta tidak
akan berubah. Keluhan penumpang tetap sama: berdesak-desakan di setiap jam sibuk,
kereta tidak ontime dan banyak yang rusak dan PT KAI akan mengaku rugi.
Ada cita-cita bersama yang seharusnya bisa disepakati antara
pemerintah dan masyarakatnya, yaitu terciptanya ketertiban umum. Saya percaya,
cita-cita ini dapat tercapai hanya apabila ada kerjasama yang baik antara
pemerintah dan masyarakat. Pemerintah memikirkan bagaimana supaya masyarakat
dapat hidup dengan baik, dan masyarakat menjalankan aturan. Hari ini mungkin
pemerintah terlihat berlaku kejam terhadap masyarakat karena telah merampas
tempat tinggal dan tempat berusaha. Tapi 10 tahun mendatang, anak cucu kita
mungkin akan berterima kasih untuk hari ini, bahwa banjir tak lagi menjadi
ancaman dan kereta sudah dapat dinikmati dengan nyaman.
Pada kedua cerita, ada kalangan intelektual yang seharusnya
dapat menjembatani cita-cita bersama tersebut. Namun sayangnya, merekapun tidak
dapat melihat ini dalam perspektif kemajuan zaman. Komnas HAM hanya peduli pada
hak warga Pluit yang hidup di tanah (yang masih) milik Negara dirampas. Lalu,
apakah lembaga ini memikirkan bagaimana
pandangan warga ibukota lainnya yang terkena banjir akibat penyalahgunaan
kawasan ini?
Para intelektual didikan kampus bergengsi di Ibukota pun
semestinya tidak hanya mengandalkan hati untuk bersikap. Rasa iba terhadap
pedagang yang di zolimi akhirnya menimbulkan perlawanan dalam bentuk aksi
protes berujung bentrok. Jika PT KAI mengaku sudah meyediakan lokasi relokasi,
lalu pedagang merasa tidak mudah memulai usaha di tempat yang baru, alangkah
baiknya apabila para mahasiswa ini memberikan sumbangsih fikiran mereka, entah
mempromosikan lokasi usaha yang baru tersebut atau justru memupuk jiwa entrepreneur
di kalangan pedagang.
Tidakkah kita ingin agar Negara ini menjadi maju?
Tidakkah kita iri dengan Negara-negara tetangga yang sudah
mampu melayani warga Negaranya dengan keamanan, ketentraman dan kenyamanan
hidup?
Saya percaya, apa yang mereka nikmati bukan didapat dengan
seketika, melainkan juga melalui proses yang berdarah-darah. Pemerintah harus
rela menjadi tidak popular di mata masyarakat, dan masyarakat terpaksa
mengorbankan kehidupan hari ini, demi kehidupan yang lebih baik untuk generasi
mereka di masa mendatang. Bisakah kita bersikap demikian?
semoga semua perubahan bisa benar-benar untuk kehidupan anak cucu yang lebih baik
BalasHapus