Cipta Gelar, Keteguhan Tradisi & Kecintaan akan Teknologi
Pernah mendengar perkampungan yang namanya Cipta Gelar?
Cipta Gelar, atau Kasepuhan Cipta Gelar terletak di lereng
Gunung Halimun, dengan ketinggian sekitar 1.050 m di atas permukaan laut.
Lokasi ini berjarak sekitar 30 km dari Pelabuhan Ratu, dan dapat di capai
dengan menggunakan kendaraan bermotor, baik mobil ataupun motor. Namun,
megingat kondisi jalanan yang berbatu, meliuk dengan tanjakan yang terjal,
sebaiknya datang kesini dengan menggunakan mobil jenis SUV yang sudah dibekali
dengan sistem penggerak empat roda (four wheel drive/ 4WD).
Saya berkesempatan mengunjungi Cipta Gelar pada akhir April
yang lalu. Karena jauhnya perjalanan dari Jakarta, serta sopir yang tidak
memahami medan, akhirnya saya baru bisa mencapai Cipta Gelar pada pukul 11.30
malam, lebih lama 5 jam dari jadwal yang diperkirakan. Abah Ugi, pimpinan
masyarakat yang juga dikenal dengan Banten Kidul ini menyambut dengan ramah.
Bersama istrinya yang jelita, yang dipanggil dengan sebutan Ma’ Alit kemudian
mempersilakan saya berbenah, membersihkan diri kemudian menyantap hidangan yang
sudah di sediakan.
Meski sudah nyaris tengah malam, namun aktivitas di dalam
rumah panggung besar – yang belakangan saya ketahui namanya adalah Imah Gede
ini – masih terlihat sibuk. Abah Ugi berbincang dengan tamu sambil di temani
Ma’ Alit yang membiarkan putra semata wayang mereka tertidur di pangkuannya. Di dapur yang disebut Dapur Gede, juga masih
terlihat sibuk. Tungku batu masih menyala dengan panic-panci besar terjerang di
atasnya. Beberapa perempuan muda merajang bawang merah, sekelompok laki-laki
menyeduh kopi. Dapur Gede pun tak kalah luasnya, sehingga beberapa tamu pun ada
yang memilih tidur di sini.
Imah Gede adalah rumah yang setiap harinya menampung tamu.
Bangunan kayu ini juga menyatu dengan bangunan lain yang lebih kecil, tempat
kediaman Abah Ugi dengan keluarga kecilnya. Imah Gede tidak pernah sepi dari
tamu. Selalu ada yang datang dan pergi, apakah itu pelancong, para pendaki yang
hendak menjelajah Halimun, mahasiswa peneliti atau rombongan studi tour, pintu
Imah Gede senantiasa terbuka.
Sejarah yang
tertinggal di lereng Halimun
Adalah satu masa di awal abad ke 14, saat dimana Prabu
Siliwangi dari kerajaan Padjajaran dikejar-kejar oleh Kerajaan Mataram dari
Banten. Prabu Siliwangi dan pegikutnya kemudian mencoba melarikan diri ke pulau
Christmas (Australia) melalui Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Namun
karena ombak Samudra Hindia yang sedang pasang, pelarian tersebut gagal. Prabu
Siliwangi pun akhirnya meminta para pengikutnya untuk mencari jalan sendiri
menyelamatkan diri. Konon kabarnya, para pengikut Prabu Siliwangi berpencar ke
empat arah mata angin, lor (utara), kulon (barat), wetan (timur) dan kidul
(selatan).
Adalah sekelompok pengikut yang menuju selatan, akhirnya
mendiami kawasan gunung Halimun. Di sini, mereka yang akhirnya dikenal dengan
nama masyarakat adat Banten Kidul bermukim, nenek moyang Abah Ugi. Menurut Abah Ugi, Kasepuhan
tersebut bermula pada tahun 1368. Sejak itulah, komunitas ini menjalankan
kehidupan sebagai masyarakat petani dan beternak yang tetap teguh memegang adat
dan tradisi.
Ada satu tradisi menarik disini, yaitu larangan untuk
memperjual belikan padi maupun hasil olahan turunan padi. Padahal, Ciptagelar
adalah tanah yang kaya akan padi. “Padi pangan utama kita, pantang di perjual
belikan. Kalau pada di jual, lalu kita makan apa? Ntari uang gampang, tapi
kalau nyari padi, kemana hendak dicari?” begitulah penuturan Ma’ Alit mengenai
padi. Meski demikian, jika ada warga yang kekurangan, ataupun pendatang yang
membutuhkan padi, tradisi mewajibkan mereka untuk memberi.
Keteguhan atas tradisi lokal, terutama mengenai padi
terlihat dari jenis padi yang di tanam, yaitu padi varietas lokal yang sudah
berumur kurang lebih 640 tahun. Masa tanam pun hanya satu kali dalam setahun.
Padi-padi hasil panen kemudian di simpan di lumbung yang di namakan leuit. Selain menyimpan di leuit milik sendiri, warga juga harus
menyisihkan hasil panennya untuk disimpan di lumbung komunal yang disebut leuit
si jimat.
Demikian bijaksananya konsep atas padi yang dipegang teguh
masyarakat Cipta Gelar sebanding dengan keindahan alam yang dimilikinya.
Hamparan padi dengan batang yang lebih panjang serta bulir yang berwarna
keemasan ditimpa sinar matahari, dan tidak ketinggalan jajaran leuit yang membuktikan kekayaan alam
negeri di lereng Halimun ini.
Tradisi lain yang juga mengagumkan adalah tradisi pindah kampung dengan membawa baris kolot (para pembantu kasepuhan) berikut rumah dan isinya. Pindahan tersebut dilakukan bukan karena pemukiman mereka terkena banjir atau bencana, namun karena adanya wangsit dari leluhur. "Kalau ada wangsit dari leluhur, disuruh pindah kemana ya harus pindah," jelas Abah Ugi.
Cipta Gelar sendiri baru didiami oleh Abah Ugi dan masyarakatnya sejak 14 tahun yang silam. Sebelumnya, masyarakat yang maish dipimpin oleh Abah Anom, ayahanda dari Abah Ugi bermukim di kampung Ciptarasa. Suatu ketika di tahun 2001, Abah Anom mendapat wangsit dari leluhur untuk memindahkan kampung ke Cipta Gelar yang berjarak 14 km dari Ciptarasa. Mereka pun secara bergotong royong mulai membangun kehidupan baru di Ciptagelar.
Teknologi di balik gunung
Meski kampung Ciptagelar berada jauh dari kehidupan kota yang hingar bingar dengan teknologi, bukan berarti masyarakat terasing dari kemajuan zaman. Listrik, televisi, radio, handphone dan internet bukanlah istilah asing disini. Semua fasilitas tersebut dikembangkan sendiri oleh masyarakat Ciptagelar.
Di tanah yang selalu ditutupi kabut ini, berdiri sebuah stasiun radio dan televisi dengan peralatan sederhana, namun mampu menjangkau hingga Sumedang. Namun karena satu alasan, jangkauan siaran Ciga TV sekarang hanya 25 km. Keberadaan radio dan televisi Ciga tersebut praktis menjadi hiburan dan media informasi bagi masyarakat untuk saling berkabar berita.
Betapa kayanya adat dan tradisi kehidupan di lereng Gunung Halimun tersebut, demikian juga indahnya langit dan buminya. Padi-padi berbatang panjang tumbuh hijau di sawah yang bertingkat. Deretan rumah berdinding bambu yang diselingi leuit serta kabut tipis yang selalu menyelimutinya di pagi hari, adalah lukisan alam yang tak mungkin terlupa.
Cipta Gelar sendiri baru didiami oleh Abah Ugi dan masyarakatnya sejak 14 tahun yang silam. Sebelumnya, masyarakat yang maish dipimpin oleh Abah Anom, ayahanda dari Abah Ugi bermukim di kampung Ciptarasa. Suatu ketika di tahun 2001, Abah Anom mendapat wangsit dari leluhur untuk memindahkan kampung ke Cipta Gelar yang berjarak 14 km dari Ciptarasa. Mereka pun secara bergotong royong mulai membangun kehidupan baru di Ciptagelar.
Berbincang dengan Abah Ugi & Ma' Alit |
Teknologi di balik gunung
Meski kampung Ciptagelar berada jauh dari kehidupan kota yang hingar bingar dengan teknologi, bukan berarti masyarakat terasing dari kemajuan zaman. Listrik, televisi, radio, handphone dan internet bukanlah istilah asing disini. Semua fasilitas tersebut dikembangkan sendiri oleh masyarakat Ciptagelar.
Di tanah yang selalu ditutupi kabut ini, berdiri sebuah stasiun radio dan televisi dengan peralatan sederhana, namun mampu menjangkau hingga Sumedang. Namun karena satu alasan, jangkauan siaran Ciga TV sekarang hanya 25 km. Keberadaan radio dan televisi Ciga tersebut praktis menjadi hiburan dan media informasi bagi masyarakat untuk saling berkabar berita.
Stasiun Radio & TV Cipta Gelar |
Kang Yoyo bersiap siaran |
Betapa kayanya adat dan tradisi kehidupan di lereng Gunung Halimun tersebut, demikian juga indahnya langit dan buminya. Padi-padi berbatang panjang tumbuh hijau di sawah yang bertingkat. Deretan rumah berdinding bambu yang diselingi leuit serta kabut tipis yang selalu menyelimutinya di pagi hari, adalah lukisan alam yang tak mungkin terlupa.
Abah Ugi & Ma' Alit |
Ngiiring Bela Sungkawa ... ka abah Ugi
BalasHapus