Pappatheo - Laut, Langit dan Angin



Sore ini, saat menanti hujan reda, tak sengaja menemukan video Rahmat Yusuf, film singkat tentang Pappatheo Island. Sejenak gw teringat pelarian singkat ke gugus kepulauan seribu 5 bulan yang lalu. Teringat pula satu janji yang belum terpenuhi.

Gw pernah janji pada seorang sahabat, untuk selalu memberikannya cerita. Meminjamkannya mata, telinga dan kaki untuk melihat dunia, lalu menceritakannya kepadanya. Empat jam setelah gw berjanji, dia dipanggil yang maha kuasa. Tujuh hari setelah itu, tepat pada saat abunya dilarung ke laut, gw menginjak Papatheo.

Papatheo mestinya menjadi pembuktian pertama pemenuhan janji. Sayangnya, puluhan hari setelah masa itu, gw masih juga tak bisa menepatinya. Janji memang cukup mudah diucapkan, tapi sulit melaksanakannya ya. Seandainya dia masih ada, setiap jam pasti gw akan dibombardir dengan tagihan – tagihannya: “Mana cerita gw?”

*Bahkan hingga detik ini pun, menceritakan Papatheo masih membangkitkan kenangan duka

Gw tak akan menyangkal, keputusan gw ikut ajakan Gina ke Pappatheo bersama rempong family bukan untuk berlibur. Gw hanya ingin melihat laut, menyapanya dan berbincang dengannya. Untuk sejenak gw ingin menjauh dari atmosphere Jakarta dan orang-orang yang akan membuat ingatan gw kacau balau.

Dan entah bagaimana Tuhan mengatur semua itu, tiba-tiba saja Gina tidak bisa ikut karena Inu masuk RS. Aneh saja, kenapa Inu tiba-tiba bisa sakit? Tapi pada saat itu gw tidak ambil pusing. Malah gw berterima kasih pada Tuhan, untuk beberapa saat, gw sebenarnya tidak ingin bertemu Gina. Gw tidak ingin menangis. Di hadapan Gina, gw tidak mungkin bisa kabur.

Meski baru pertama kali mendengar nama pulau itu, tapi gw tidak pernah menanyakan apa dan dimana persisnya pulau itu. Gw hanya ingin ikut kemana arus membawa KM Kerapu milik Dinas Perhubungan ini.

Jam 7 pagi, KM Kerapu dari dermaga Muara Angke membawa gw dan rempong family menuju pulau Pramuka. Dari sini, kami sudah ditunggu perahu motor yang akan membawa kami ke Pulau Kelapa, tempat penginapan yang sudah dipesan. Meski tujuan adalah Pappatheo, tapi kami menginap di Pulau Kelapa. 

Antri tiket KM Kerapu dari jam 6 pagi, tidak boleh diwakilkan

Penginapan yang sudah di pesan ternyata bukan dibangun di atas tanah, namun diatas tiang-tiang yang terendam air laut. Ternyata, sebagian perkampungan penduduk di pulau Kelapa dibangun di atas air laut. Dermaga mungil tempat perahu tadi merapat ternyata adalah terasnya penginapan. 

“Malam ini tidur ditengah laut, lo suka?”

Seorang Bapak paruh baya menyapa gw yang sedang memandangi laut lepas. “Nanti ke Pappatheo naik perahu yang itu,” ujarnya sambil menunjuk sebuah perahu kayu bermotor warna  hijau. Gw hanya bisa tersenyum. Tetap tidak ada kata yang ingin diucapkan.

Setelah makan siang dan berbenah, perahu hijau yang dikemudikan Bapak yang tadi menyapa gw berangkat ke Pappatheo. Dari pulau Kelapa ke Pappatheo, menghabiskan waktu sekitar 1 jam.

Menyusuri laut biru dengan angin lautnya yang menampar pipi, rasanya perasaan gw jadi sedikit lebih baik. Apalagi melihat keriangan Rempong Family yang tak hirau dengan kediaman gw. Saat itu, gw sedang tidak ingin ditanya “ada apa”. Gw hanya berharap, kegembiraan mereka tak perlu rusak hanya karena mood gw sedang tidak baik.

Laju perahu mulai melambat. Seorang lelaki paruh baya dengan 2 anak laki-laki menyambut kami di dermaga mungil yang terawat dengan baik. Mereka adalah penjaga pulau tak berpenghuni itu.

Pappatheo adalah pulau pribadi milik salah satu pengusaha. Karena bukan tujuan wisata, tak heran gw merasa asing dengan namanya. Tapi kabarnya, pulau ini pernah dijadikan lokasi syuting iklan salah satu provider.

Meski tak berpenghuni, namun disini ada beberapa villa besar yang sebenarnya bisa ditempati. Hanya saja, belum ada listrik. Jadi jika ingin bermalam disini, harus mengandalkan genset atau api unggun (bila tak ada solar).

Kami meletakkan barang-barang di satu villa yang paling dekat dengan dermaga. Bapak penjaga pulau ternyata sudah menyiapkannya untuk kedatangan kami. Niken, salah satu Rempong Family  bekerja di perusahaan  si pemilik pulau. Ia kenal baik dengan penjaga pulau. Itu sebabnya kami bisa menggunakan salah satu villa.

Jika sekarang memperhatikan foto-foto saat disana, baru terbayang betapa indahnya pulau berpasir putih itu. Tiang-tiang besar yang menyerupai ornamen Belanda menyambut siapa saja yang baru tiba di dermaga. Laut biru jernih kaya akan biota. Sayangya, pada saat itu, mata gw sedang diselimuti mendung. Gw tidak melihat apa-apa selain keinginan menjatuhkan diri ke laut lepas.
Pappatheo, langit dan laut seakan tak ada batasnya

Tiang-tiang dan patung malaikat
Pappatheo, hijau dan terawat

Gw membiarkan angin menuntun kaki melangkah menyusuri pantai. Kawanan ikan-ikan kecil berpencar begitu kaki gw menyentuh air. Tanaman laut yang halus menggelitik telapak kaki gw. Gw terus melangkah menjauh dari pantai. Semakin ke dalam, semakin gw merasakan rombongan ubur-ubur tak kasat mata mencubit-cubit kulit. Pedih rasanya. Seandainya pedih di hati bisa digantikan sengatan ubur-ubur saja....

Semakin jauh, pekikan teman-teman yang berkejaran di pinggir pantai makin terdengar sayup. Gw akhirnya menjatuhkan diri ke pelukan laut biru, membiarkan ombak-ombak kecil memainkan tubuh gw. Langit biru dengan awan putih.

"Langit, lain kali saja gw memandangmu. Kali ini, hanya laut ini yang bisa membawa gw kepadanya."

Lalu gw menutup mata. Menajamkan telinga.

“Hai, apa kabar? Mau bercerita dengan gw?”

Tidak ada jawaban.

“Tidak apa-apa, gw hanya ingin begini saja beberapa saat,”

Apa yang dilakukan rempong family disini?

Rambo dan Mamad sibuk dengan camera mereka di pinggir pantai. Objeknya bukan laut bukan langit. Tapi Nona dan Ecka yang tak mau melewatkan kesempatan. Liburan sambil buat foto prawed.




Semoga jadi pasangan yang tak terpisahkan, seperti laut diseluruh dunia yang saling menyatu
Doa gw.






Iik dan Niken, sibuk berenang di pinggir pantai. Gw sempat dengar mereka ribut ada yang menyetrum bikin kulit pedih-pedih. Hahahaa...itu pasti rombongan ubur-ubur yang terganggu dengan gaya renang mereka yang tidak berkembang. Ada lagi Afif dan Wulan, pasangan ini beberapa tingkat lebih maju dari Iik dan Niken. Mereka ternyata jago renang, dan saat itu asyik menikmati menyelam bersama ikan-ikan di dekat dermaga. Di bagian sana, ternyata ikannya lebih banyak dan berwarna warni.

Puas menyendiri, gw bergabung dengan yang lain. Ikut memancing ikan bersama anak laki-laki penjaga pulau, ikut berenang di dermaga bersama wulan dan tentu saja, menyiksa bulu babi.


Iik dan Bulu Babi

The Bitch Boy Wakakakkaaa..... *pisssss :p

Yesss...we jumped!!!

Adek ini gampang banget mancing ikanya, wwwooooo...*koprol

Guess, what are we doing?

Ya, di beberapa bagian terdapat komunitas bulu babi. Gw sempat mengambil satu bulu babi lalu meletakkannya di tanah. Si bulbab ternyata bisa jalan di darat. Duri-duri runcing yang konon kabarnya ada racunnya itu ternyata jdi alat geraknya. Lucu juga bermain-main dengan biota ini.

Matahari semakin condong ke barat. Sebelum gelap tiba, kami harus segera membersihkan diri. Ada satu sumur di samping villa. Ada satu keran tapi tidak berfungsi. Akhirnya gw terpaksa menimba air langsung dari sumur. Dasar anak yang kecilnya di kampung, gw cukup akrab dengan ember, tali dan sumur. Beberapa kali talinya sempat lepas dan jatuh ke dalam sumur. Dengan segenap kemampuan pramuka jaman SMP, gw berhasil mengambil kembali tali yang terjatuh dengan bantuan sebilah kayu. Yang aneh justru rempong family. Mentang-mentang gw jago nimba air, mereka malah makin semangat mandi. Iik dan Niken sempat-sempatnya mandiin Rambo dan Mamad. *tutup muka

Selesai ganti baju, kami mengelilingi pulau. Niken perlu mengecek kondisi beberapa villa untuk dilaporkan ke bosnya. Waktu Niken mengelilingi satu villa, ada satu tanaman yang menarik perhatian gw. Seperti jenis pandan tapi memiliki batang sebesar kaki. Salah satu batangnya ada yang tumbuh horizontal. Dan pastinya, gw sangat tergoda duduk di sana. Gw pun mulai loncat dan duduk menghadap laut. Hmm...sungguh bagus. Melihat laut lepas dari atas pohon.

Iik yang melihat aksi gw rupanya juga tergoda. Ia pun ikutan naik. Bukan Iik namanya kalau setiap gaya dia tidak ingin foto. Jadilah iik merayu Mamad dan Rambo untuk menjepretkan kamera dengan objek dia yang sedang duduk diatas pohon bersama gw. Mamad dan Rambo pun siap membidik. Tiba-tiba, kraaakkk...bruukkk.. si pohon patah bersamaan dengan kilatan lampu kamera. Gw dan iik sekejap saja sudah ada ditanah. Mamad dan Rambo bengong. Mamad saja sampai mangap liat kejadian itu. Serius.

Ini ekspresi Wulan saat kejadian pohon patah
Beberapa saat kemudian gw mulai meringis, sakiiitttt. Yang lain sibuk tertawa.

Saat warna langit sudah pudar, perahu hijau kembali membawa gw dan rempong family ke pulau 
Kelapa. Lelah seharian bercengkrama bersama laut, gw membaringkan diri diatas perahu, menatap langit yang tak kalah luasnya dibanding lautan.

“Laut dan langit sekarang menjadi tempatmu. Saat ini gw baru bisa mengunjungimu di laut. Mungkin nanti, jika saatnya tiba, kita bertemu di langit,”

Akhirnya tertidur...Zzzz...

Malam di pulau Kelapa, memang tak banyak yang bisa dilakukan. Main poker setelah makan malam dengan hidangan serba laut yang sungguh nikmat, hingga mencoba ikutan memancing ikan bersama bocah-bocah pulau Kelapa. Si bocah udah dapat lima ikan besar, gw masih sibuk tarik ulur benang pancingan. Tak satupun ikan tertarik sepertinya.
Pocker face

Rama sibuk masak air buat bikin kopi. Liat kompor dan parafin berasa di gunung :D


Ternyata bukan cuma gw, kail iik dan Niken pun tak diminati ikan. Mereka berdua bahkan tiduran di perahu sambil tangannya memegang benang pancingan. Baru kali ini gw lihat orang mancing sambil tidur-tiduran. Gw pun akhirnya ikut tiduran di perahu.

Langit malam cerah dipenuhi bintang. Disini jauh dari polusi.  Bintang-bintang berlomba saling menyapa. Beberapa saat gw sempat mencari-cari si mana si rasi bintang layang-layang berada. Bintang berbentuk salib (crux) yang sangat terkenal di langit bumi belahan selatan bersinar paling terang. Tak heran gw tak butuh waktu lama mencarinya. 

Rasi Bintang Crux (pict from http://renydjawoelsyner.blogspot.com)
Periode April – Juni ternyata adalah saat yang tepat menemukan crux. (Info ini baru saja gw temukan di google saat mencoba cari foto crux untuk gw tampilkan di sini). Dan 31 Mei adalah saat ia bersinar paling terang.

"31 Mei crux bersinar paling terang. 31 Mei lo melepaskan raga...apa crux yang menuntun lo berjalan ke sana?"

Selamat pagi pulau Kelapa, selamat pagi laut, selamat pagi...

Selamat pagi pulau Kelapa, selamat pagi laut, selamat pagi...

Pagi-pagi, Mamad dan Ecka sudah ngantri tiket balik ke pelabuhan muara angke. Sayang, KM Kerapu yang Cuma berkapasitas 35 orang sudah habis. Akhirnya terpaksa menunggu kapal penumpang besar yang baru berangkat pukul 11.00 WIB. Kapal ini muat sekitar 200 penumpang, jadi tidak perlu antri tiket pagi-pagi. Hanya saja, waktu tempuh kapal ini 1 jam lebih lama dibandingkan KM Kerapu.

Sambil menunggu waktu, gw sempat jalan-jalan di perkampungan dan ngobrol dengan bapak-bapak paruh baya yang sedang sibuk menjemur ikan. Ternyata, sebagian besar penduduk adalah pendatang, terutama yang laki-laki. Awalnya mereka kesana hanya untuk berdagang, lalu curi-curi pandang dan akhirnya menikah dan punya anak. Begitulah kisah cinta sebagian besar penduduk di sana.
Tidak ingin kembali ke Cianjur Pak? Tanya gw ke laki-laki yang katanya asal Cianjur itu dia jawab, “ah, disini saja, sudah tenang hidup dengan anak dan istri,” jawabnya sambil terkekeh.

Pukul 11.30, kapal akhirnya beranjak dari dermaga pulau Kelapa. Gw dan Rempong family kembali mengarungi laut luas. Meski tak terlalu penuh, gw memilih duduk di geladak kapal. Iik sempat mengingatkan gw agar duduk didalam saja karena anginnya kencang. Dia tidak ingin masuk angin.
Tapi gw tidak peduli masuk angin. Saat itu gw ingin diterpa angin. Angin, laut dan langit, sepertinya merekalah yang gw suka saat itu. 


 P.S: Apapun yang terjadi, tetaplah tersenyum nia

"Ok" 







Komentar

Postingan Populer