Outsourching #Outsorcshit

Outsorcing.
Apa yg kebayang pertama kali kalau dengar kata ini?

Pertama kali gw dengar kata outsorcing dari satu sahabat waktu baru lulus kuliah dulu. Waktu itu gw tanya mengenai salah satu hasil wawancara kerjanya.
Dia bilang : gak ah, ternyata otsorcing | apaan itu?| kayak ISS | ooo

Waktu itu yg kebayang di otak gw petugas kebersihan mall (krn dia bilang ISS). Setelah  itu gw gak sekalipun juga memusingkan tentang otsorcing.

Outsourching, dalam bahasa Indonesia artinya alih daya. Berdasarkan info dari Kementerian Tenaga Kerja, Outsorcing diartikan sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.


Kalo mau pengertian dalam basa inggrisnya, diartiin sama tante  Maurice F Greaver II, (Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decision and Initiatives):


Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces


Sekarang gw baru tau, ternyata outsourcing itu lebih banyak ngerugiinnya dari pada untungnya. Terutama bagi karyawan ya, bagi perusahaannya, lha jelas untung dong. 



Meski UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada mengatur tentang  pelaksanaan outsorcing, tetap aja lho masih banyak yang gak mematuhinya. Terus, 19 November kemarin juga baru ditanda tangani Permenaker yang khusus mengatur tentang outsorcing ini. 

Dalam UU tersebut, hanya ada 5 jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing, yaitu: 1) cleaning service, 2) catering, 3) keamanan, 4) pekerja di pertambangan, dan 5) transportasi. 

Selain menyebut langsung jenis pekerjaannya, disebutkan juga indikator pekerjaan itu boleh dialih dayakan atau tidak. Pekerjaan yang boleh di outsorcing itu adalah pekerjaan yang bersifat sampingan, bukan yang termasuk pekerjaan inti dari satu perusahaan.

Jadi kalau misalnya kita ditawarin jadi teller di bank, tapi statusnya outsorcing, mestinya kita bisa bilang "wah, gak bener nih, Bapak udah melanggar UU," 

Teller di Bank mestinya masuk ke dalam kegiatan inti perusahaan, bukan aktivitas yang bersifat sampingan, ya tho? coba bayangkan kalo di bank g ada teller, wah...repot kan?
*sambil ngitung ada berapa banyak temen gw yang kerja di bank tapi outsorcing 
 
Yah begitulah, yang namanya peraturan ya cukuplah di atas kertas saja. Praktiknya, suka-suka kitalah...Apalagi banyak perusahaan nakal yang benar-benar kurang ajar, sudahlah mengoutsorce, dikerjain lagi karyawannya...kalo buat karyawannya kira-kira kayak peribahasa sudahlah jatuh ketimpa tangga pulak.


Nah, kalau bukan karena gak sengaja ketemu Mas Ari dari Partisipasi Indonesia (PI) beberapa minggu lalu, mungkin gw juga gak akan memahami persoalan outsourcing. Parahnya lagi, mungkin gw juga jadi bagian yang tidak peduli. Namun karena ngobrol beberapa kali tentang persoalan yang dialami teman-teman yang berstatus outsorcing, jadilah gw merasa gw harus peduli. Dan yang pasti, pada saat itu gw bersyukur Tuhan tidak memberikan jalan outsorcing pada riwayat pekerjaan gw.

Mas Ari cerita, PI baru saja melakukan penelitian mengenai kesejahteraan buruh di Industri rokok. Kenapa meneliti itu? yah secara rokok merupakan industri yang 'mengayakan' pemiliknya, jadi mereka pengen lihat, kalau yang punya kaya, pekerjanya gimana?

Ternyata, pada saat itu mereka justru menemukan fakta lain. Ada satu perusahaan rokok papan atas di Indonesia, ternyata mengoutsource pekerjanya (buruh pelinting rokok). Menurut Mas Ari, dan gw juga setuju, buruh pelinting rokok mestinya karyawan tetap, karena mereka melaksanakan pekerjaan inti perusahaan. 

Coba kalo buruhnya mogok, otomatis produksi rokoknya berhenti kan? gak ada rokok yang dikirim ke warung-warung buat dinikmatin anak-anak muda kayak kita, dan orang-orang dewasa (kayak bapak-bapak yang suka ngerokok di angkot dan nyuekin ibu-ibu yang udah nutupin idungnya pake ujung kerudungnya). Mas-mas pengecer rokok pun bisa-bisa gak bisa kasih jajan buat anaknya. Padahal, hasil jualan rokok itu lumayan loh untungnya. Satu batang rokok kalo dijual eceran bisa untung 200 an...*mikirin untung jualan rokok, mulai gak fokus...

Oke, kembali ke topik.
Gw ceritain ceritanya Mas Ari aja ya,

Adalah namanya MPS - Mitra Produksi Sigaret. MPS ini adalah sejenis perusahaan yang bergerak di bidang melinting rokok. Karyawan-karyawan MPS ini kerjanya hanya melinting bahan-bahan yang udah ada untuk menjadi rokok kretek. Rokok kretek hasil karya buruh yang sebagian besar perempuan ini kemudian di pack dan dikirim ke perusahaan lain yang memiliki merek dagang, sebutlah namanya Sampoerna.

Lho, yang punya mereka dagang perusahaan lain? bukan MPS? hmm pantes gak pernah denger rokok merek MPS.

Yup. Praktis, MPS hanya melinting dan melinting dan melinting saja. MPS gak perlu mikirin berapa persen campuran tambakaunya, apa jenis kertasnya dll. Secara berkala MPS akan menerima pasokan bahan baku yang sudah siap dilinting dari Sampoerna. Buruh-buruh MPS melinting, hasilnya kemudian dikirim lagi sama si MPS ke Sampoerna. 

MPS cukup ngurusin buruh-buruhnya saja. Bayarin gaji yang biasanya mingguan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dituntut/ dihadapi buruh. Si pemilik MPS tentu saja akan dapat keuntungan dari Sampoerna. Semakin banyak setoran rokoknya, makin banyak pula untungnya. Jadi gak heran kalau banyak pemilik MPS yang suka memberikan target gila-gilaan bagi buruhnya. Kalau misalnya buruhnya gak bisa selesaikan pekerjaan sesuai target, mereka dihukum dengan memberikan PR melinting rokok tambahan, dan itu tidak dihitung lembur. ckckck...enak bener kalau punya MPS yak, tinggal suruh ini itu, ancam sana sini... yang namanya ibu-ibu perlu kasih duit jajan buat anak, ya akhirnya nurut-nurut aja. Hmm...wahai anak-anak, lihatlah pengorbanan ibumu...

Eh, btw, ada yang minat punya MPS?
Ternyata gak susah kok. Gampang banget, asal punya lahan buat bikin pabrik, ada klinik kesehatannya dan pos keamanan (detilnya gw lupa apa aja yg harus ada di dalam pabrik itu), dan yang pasti lo bisa menggalan masa buat jadi buruh di MPS lo itu. Kira-kira, keseluruhannya cuma butuh sekitar 1 milyar. Cuma lho ya...cuma  1 M kok :p 

O ya, urusan perijinan juga gampang deh. Ya iya, secara sebagian besar MPS-MPS itu yang punya pejabat-pejabat daerah setempat. Jadi kalo lo anak/ ponakan/ menantunya salah satu gubernur/ walikota, kayaknya gak susah deh bikin MPS 

Sekilas mungkin kita (dan gw pun awalnya) menganggap, gak ada yang perlu diributin.  
Tapi coba deh perhatiin hubungan Sampoerna - MPS - Buruh.

Sampoerna : yang punya merek
MPS: yang punya buruh
Buruh: yang punya tenaga 

Kalo merujuk lagi ke UU tenaga kerja yang gw bahas di atas, dalam industri rokok yang mana kegiatan utamanya adalah melinting rokok, maka hubungannya seharusnya: Sampoerna - Buruh

Tidak ada MPS. Tidak boleh ada yang lain diantara kedua pihak itu. Kalau ada yang lain, itu namanya pihak ke tiga. Titik. 

Sekarang, diantara Sampoerna dan Buruh, ternyata da yang namanya MPS. so, ngapain dia disitu? 
Itulah dia yang namanya outsourcing sodara-sodara. Sampoerna menyerahkan urusan buruhnya kepada MPS. dengan kata lain, Sampoerna mengoutsource untuk kegiatan yang termasuk core bisnisnya.

Tak cukup di persoalan Sampoerna mengoutsource buruh yang merupakan pelanggaran. MPS ternyata melakukan pelanggaran lagi terhadap buruhnya. Ada yang gajinya gak jelas, dipotong sana-sini dengan berbagai alasan, buruh gak bisa penuhi target dikasih beban kerja lagi (gak dihitung lembur), kesehatan buruh yang gak diperhatikan dan lain-lain. 
Memang, yang namanya manusia, selagi ada kesempatan berbuat curang, akan berbuat curang. 


*gw ngomong begini bukan berarti gw gak pernah curang, karena gw masih manusia gw juga sering kok ke kantor curi-curi pake baju kaos dan sandal crocs :p      

Sampoerna udah nyurangin UU lewat MPS, MPS nyurangin buruh lagi. Hmm, semoga ada karmanya.

Satu kali gw ada ketemu teman, namanya Shinta. Gw sempat ngobrolin topik ini. Dia bilang, "Sayang sekali yah, banyak dari kita gak peduli, padahal kita tuh calon-calon di outsorce," kata dia sambil menyuap nasi goreng gak pedes yang ditambahin lagi kecap manis. Lalu, sekilas dari mulutnya keluar istilah #outsorcshit. 

Dengan semangat dia akhirnya bilang, pokoknya, anak muda itu harus peduli sama yang begini. Ini tuh gak boleh dibiarin. KIta gak sadar, kita capek-capek kuliah, lamar sana sini, keterima eh malah di outsorce. Padahal kita kerja di Bank misalnya ya Mba, itu kan gak boleh ya? (dioutsource). Nah, mungkin selama ini banyak yang kejadian, karena kitanya gak tahu dan gak peduli. Akhirnya kita terima-terima aja.

Shinta benar. 
Selama ini, selain persoalan buruh yang di outsorce, banyak pekerjaan lain yang seharusnya berstatus karyawan tetap tapi di outsorce juga. Hanya saja, mungkin krn kita masih bisa kerja di kantor, ber ac, dan kelebihan lainnya di banding buruh. Makanya kita gak terlalu persoalkan. 

Sementara banyak pekerja lainnya yang punya beban kerja lebih berat namun dengan tingkat kenyamanan kerja yang sangat minim, akhirnya turun ke jalan, menuntut penghapusan sistem outsourcing. Kita (pekerja kantoran yang status outsource) dan mereka (buruh outsorce yang turun ke jalanan) adalah sama: sama-sama dicurangi haknya. 
 
Well, itulah awalnya. Akhirnya gw jadi bantuin Mas Ari deh bikin konpers mengenai persoalan ini di Warung Daun, Cikini kemarin (22 Nov). Persiapannya cukup kebut-kebutan. Undangan media harus diselesaikan dalam satu hari, besoknya harus selesaikan konfirmasi media. Belum lagi urusan warung daun yang bolak balik telp tanya ini itu, pembayaran dan lain-lainnya.  Fact sheet, rilis, executive summary. Halah...mana koordinasi antara gw- bu bos dan mas ari juga jarak jauh semua. Hahaha....dalam satu hari gw sampe ngecas si Bebi 3 kali. 

Tapi yah, tetap bersyukur kegiatan ini disokong sama teman-teman yang dapat diandalkan. Mas Nandar, meski masih baru tapi okelah, cukup sabar ngadepin kelakuan gw kalo situasi kritis begitu. Ada juga Mas Sirhan dan Adit, bisa back up seua kebutuhan gw. Dan yang pasti, kawan-kawan media yang pastinya sangat banyak bantuin gw nyebarin info liputan ini.

Pada hari H, ternyata diluar prediksi gw. Diskusi berjalan hangat, 3 narasumber yang hdir, Bpk Nursuhud dari DPR, Said Iqbal (KSPI) dan Timbul Siregar (OPSI). Ada juga Mas Ari yang paparin hasil penelitiannya PI. 

Selesai makan siang, acara berakhir. Gw dan kru masih sempat ngaso-ngaso sebentar di Warung Daun sekligus foto-foto. Ahayy...gak dimana mana, yang namanya kamera harus tetap digunakan.  

Konpers PI di Warung Daun, hmmm....ada yang gak kebagian kursi :(




  


 



  






Sebelum backdrop di copot, mejeng dulu sama PI

Oh ya, setelah acara selesai, ternyata kita di kasih oleh-oleh sama Warung Daun. Sebungkus beras organik. Wkwkwkkw....lumayanlah buat makan siang di kantor :p


Sirhan & Nandar, Ini apa-apaan ini????






 



Komentar

Postingan Populer