Journalism, a Process, a Technik and a Science
Akhir pekan kemarin, saya diundang untuk mengisi acara
workshop jurnalistik di SMA N 1 Sukatani, Cikarang, Jawa Barat. Ada dua materi
yang akan dibahas dalam workshop tersebut, pertama mengenai pengenalan dan
penulisan jurnaistik dan yang kedua adalah fotografi jurnalistik. Sesuai latar
belakang, jatah saya adalah pengenalan dan penulisan jurnalistik.
Hari Minggu (4/11), setelah sholat subuh saya pun langsung
berangkat menuju terminal Kampung Rambutan. Salah satu teman yang
merekomendasikan saya untuk kegiatan tersebut sebelumnya meminta agar saya ke
Cikarang hari Sabtu saja mengingat Jakarta – Cikarang bukanlah perjalanan yang
singkat. Namun, dengan berbagai alasan saya terpaksa menolak.
Saya harus mempelajari kembali materi. Itu satu-satunya
alasan saya tetap bertahan di rumah sambil memelototi PPT dan rela berangkat
dengan bis pertama dari Jakarta keesokan harinya. Meski materi yang akan saya
sampaikan bukanlah untuk yang pertama kalinya, namun bagaimanapun saya tetap
harus mengulangnya. Apalagi mengingat peserta adalah anak SMA.
Beberapa hari sebelum hari H, ada satu teman yang dengan
entengnya bilang begini “ahh...anak SMA
doang, lo kan udah biasa ngajar emak-emak?”
Sejujurnya, saya sedikit tersinggung dengan ucapan itu.
Sangat meremehkan tentu saja. Namun bagi saya, menghadapi anak SMA dua kali
lipat lebih berat daripada menghadapi orang dewasa. Mengapa? Jelas saja, mereka
masih segar. Keinginan belajar dan mengetahui sesuatu lebih tinggi.
Pukul 4.30 wib saya terbangun karena dering ponsel, sebuah
panggilan – bukan alarm. Suara serak diujung sana meminta saya bangun dan
mandi. Ya, malam sebelum tidur saya memang meminta ibu membangunkan saya
sebelum subuh. Saya khawatir terlambat bangun dan mengacaukan acara. Tak cukup
dengan ibu, saya pun meminta sahabat saya untuk menelpon saya pukul 4.30 pagi. Meskipun
dia mengomel (selalu mengomel) dengan permintaan asal saya itu, toh dia tetap
menelpon dan memastikan saya sudah benar-benar berjalan ke kamar mandi. Thank
you Ndut J
Beruntung, tiba di Kampung Rambutan saya tak perlu lama-lama
menunggu Mayasari 9BC, bis jurusan Jakarta – Cikarang. Meski tak sampai 10
penumpang didalamnya, bis tetap berangkat. Saya pun langsung memejamkan mata
meneruskan mimpi yang tadi subuh sempat terpotong.
Cikarang bukanlah negeri yang benar-benar baru bagi saya.
Jika ditanya dimana saya mengawali profesi jurnalis, ya di Cikaranglah
tempatnya. Saya pernah menjadi reporter freelance sebuah koran yang bermarkas
di Cikarang. Cuma untungnya, saya dikasih wilayah liputan di Jakarta. Namun
pada 1 bulan pertama, nyaris 4 hari
seminggu saya liputan disana. Waktu itu redaksinya beralasan agar saya
mengenali daerah Cikarang.
Setelah 7 tahun berlalu, ternyata cikarang tak banyak
berubah. Meski terminal bisnya sudah dipindah, tapi saya masih merasa tak
begitu asing, terutama dengan sinar mataharinya yang terik. Ada teman yang
bilang, Jakarta – Cikarang tidak lagi lewat Cibitung, namun langsung keluar tol
Cikarang. Tapi toh saya tidak merasakan bedanya, secara sepanjang perjalanan
saya pulas bermimpi hahahahhaaa...... :D
Mba Tami, guru BP sekaligus penyelenggara acara menjemput
saya di terminal. Berdua kami menyusuri
jalan raya yang agak berdebu ke arah utara, menuju Kecamatan Sukatani. Sebagian
besar gambar yang terekam mata saya adalah sawah, sekolah dan, perumahan
penduduk yang diselingi komplek-komplek
perumahan baru. Puluhan industri yang menyerap banyak tenaga kerja mungkin
menjadikan Cikarang prospek yang cukup menjanjikan bagi pengembang. O ya, satu
lagi yang menarik mata, disetiap persimpangan saya menemukan tanda pesta
perkawinan. Bahkan disebuah gang kecil, ada karton putih dengan tulisan besar “Kel
Prawijo, Sumarno & Dewi”. Dalam perjalanan selama 20 menit itu, saya
menemukan 19 papan tanda kawinan. Heheheh....sempat terlintas pertanyaan usil,
apakah ini musim kawin? :p
Tiba di SMU 1 Sukatani, target operasi hari itu, kami disamput
oleh pasukan baris-berbaris. Mba Tami yang juga guru BP di sekolah tersebut
pasukan baris berbaris alias paskibraka yang sedang latihan itu adalah ekskul
yang paling diminati siswa. Dalam hati saya membatin, jaman jadi siswa putih
abu-abu pun saya mendamba terpilih sebagai pengibar bendera. Tapi apa daya,
tulag kaki tak mau diajak berkompromi L
Lalu bagaimana dengan workshop Jurnalistik ini?
Ekskul yang baru berusia 2 tahun ini ternyata tak sepi peminat,
meskipun belum menjadi yang favorit. Apa sebab? Ternyata banyak siswa yang
beranggapan ini adalah ekskul elit, harus punya kamera dan peralatan
lain-lainnya. Intinya kegiatan ini butuh banyak biaya.
Baiklah, persoalan awal saya sudah temukan. Dengan
memantapkan hati dan pikiran, saya akhirnya melangkah ke ruangan yang sudah
disiapkan. Pukul 8.30 wib acara dimulai.
Ada sekitar 30 siswa yang sudah duduk di ruangan dengan
settingan U class. Perlahan mata saya menyapu satu-satu remaja-remaja full
power itu. Hal pertama yang terlintas dalam benak saya adalah, apakah panggilan
yang akan saya berikan? Adik-adik? Kawan-kawan? Saudara? Anak-anak? *anak-anak,
sound funny rite? :p
Seorang remaja laki-laki yang sedari awal sibuk mensetting
audio menyapa saya melalui microphone, “Selamat datang saya ucapkan kepada
...ng...bagaimana saya memanggilnya? Ibu apa teteh?” ia terlihat bingung dan
salting. Mungkin dalam bayangan mereka pembicara hari ini adalah seorang
ibu-ibu, ternyata masih sepantaran mereka hahahahha....*ngarep :p
Saya menjawab pertanyaan itu hanya dengan senyum. Lalu mengikuti
ajakannya untuk duduk hot seat. Akhirnya saya menyapa mereka dengan sebutan
teman-teman, dan mereka pun (ada) yang memanggil saya teteh.
Perkiraan saya benar. Mereka pintar. Mereka kritis. Disetiap
slide yang saya tampilkan, selalu ada yangtunjuk tangan untuk bertanya. Satu
pertanyaan yang menggelitik saya adalah “apakah ada sanksi apabila wartawan
salah (tanpa sengaja) dalam menulis berita?”
Ada satu pertanyaan yang membuat saya terdiam beberapa saat.
Seorang murid berkaca mata yang dipanggil Bay menanyakan tentang kode etik
jurnalistik, apa isinya?
Jujur saja, saya tidak pernah membuka buku bersampul biru
ini sampai akhir. Bahkan buku itu saya beli ditahun pertama kuliah hanya untuk
melengkapi kewajiban sebagai mahasiswa jurnalistik. Saya bahkan tak ingat
apakah pernah mencoba memahami isinya atau tidak.
Dengan sedikit malu, saya mengakui bahwa saya tidak paham
benar apa isinya. Namun, satuhal yang pasti, aturan-aturan itu dengan
sendirinya akan terlaksana apabila profesi jurnalis itu dilakukan sebagaimana
rohnya. “Kembali lagi pada pemahaman kita tentang jurnalistik, apa sih
jurnalistik itu? Kegiatan mencari, mengumpulkan lalu menulis berita dan
menyiarkannya dengan tujuan memberikan informasi kepada orang lain,”. Saya
menekankan penjelasan itu pada tujuan
jurnalistik yang sebelumnya saya sudah jabarkan pada slide kedua.
Jurnalistik adalah kegiatan yang bertujuan memberikan
informasi kepada orang lain. Itu pendapat
saya. Jika ada tujuan-tujuan lain dibalik itu, bisa dikatakan produk
jurnalistik itu sudah tercemar.
Saya analogikan kode etik jurnalistik dengan peraturan siswa
di sekolah. Ada banyak sekali point yang harus dipatuhi siswa. Jika harus
dihapalkan, saya yakin siswa tidak ada waktu unuk mengamalkannya. Namun,
apabila siswa memahami makna kata dan berlaku sebagai seorang “siswa”, tak perlu dihapalkan pun peraturan
sekolah itu terlaksana dengan sendirinya. Begitu juga jurnalist. Berlakulah
sebagaimana jurnalistik, maka tak perlu pusingkan kode etik jurnalistik.
Tepat pukul 12.00 Wib, saya mengakhiri sesi pertama itu
dengan senang. Saya senang memandang binar dimata mereka, saya senang mendegar
mereka mendiskusikan paparazzi bukanlah jurnalis. Terlebih lagi, saya merasa
sangat dihargai disaat mereka menanyakan Kompas muda yang sempat saya singgung
sekilas.
Tak ada yang lebih
menyenangkan selain kamu didengarkan saat berbicara.
Apa yang saya berikan hari itu masih sekedarnya. Saya yakin,
masih banyak hal yang ingin mereka ketahui, pun saya ingin berbagi lebih
banyak. Namun kita tak boleh maruk tho? Apalagi soal waktu. Mas Endro, sang
fotografer yang juga auh-jauh datang dari Jakarta sudah siap dengan peralatan
tempurnya mengisi sesi kedua.
Sebelum pulang, saya sempat berpesan agar ekskul jurnalistik
ini dapat terus tampil dengan karya-karyanya. Hanya ada satu cara untuk menjadikan kegiatan
ini menjadi satu yang populer: konsisten menghasilkan karya dan tunjukkan
jurnalistik adalah tentang sebuah proses, tehknik dan ilmu pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar