Menuju Stasiun Terakhir

Kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan?

kalau selama ini gw suka becanda dengan ungkapan “pengen garuk garuk aspal” , ya begitulah rasanya.
Melepaskan sedih dengan tangis tak banyak membantu. Sedih berkurang, air mata kering, mata bengkak. Setelah itu? kesal, kecewa, mariah, menyesal campur aduk jadi satu. Hasilnya, gw masih tidak bisa percaya bahwa seseoramg telah pergi meninggalkan gw.

Ingin menangis, teriak-teriak, lempar-lempar barang pun tidak banyak membantu. Dia yang telah pergi tidak mungkin kembali. Inilah masa dimana gw pengen garuk-garuk aspal.
Sempat terfikir untuk protes kepada Tuhan, kenapa Dia tidak biarkan sahabat gw hidup lebih lama. Tapi gw pikir Tuhanpun tidak peduli dengan mogok makan yang gw lakukan. Tuhan juga tidak mungkin mengabulkan do’a kalau gw minta dia yang telah pergi dikembalikan.


Seminggu, dua minggu, gw kacau. Saraf-saraf di otak seakan bertabrakan lalu korslet dan terbakar. Panas.
Satu kali gw mencaci maki seseorang melalui YM. Gw salahkan dia atas kepergian Do. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menyalahkan orang lain. Gw lega, tapi hanya sesaat. Seolah-olah gw hanya memencet bisul  dan mengeluarkan sedikit isinya saja. Setelah itu, sang bisul masih bisa tumbuh dan kembali menjadi parasit. Sakit, rasanya sakit sekali.

Berkali kali gw berusaha membuat diri gw baik-baik saja. Liburan, nonton, makan, shopping…semua gw lakukan.  Melupakan apa yang terjadi dalam 2 minggu ini. Berharap Do masih menghitung pengunjung mini market yang keluar masuk  dari balik jendela kamarnya. Berharap ini hanya mimpi dan semua akan baik-baik saja begitu gw terjaga.
Kenyataan tidak seperti yang gw harapkan. Gw terbagun di pagi hari dengan perasaan sepi, dan ini bukan mimpi.

Tentang kematian, gw pernah bahas dengan Do sekitar satu tahun yang lalu, jauh sebelum penyakit itu menyerangnya.

“Jika Tuhan mengambil seseorang yang kita sayang, kita harus mengihklaskannya. Pastinya tidak mudah mengihklaskan, tapi bagaimanapun kita harus mencobanya karena hanya itu yang bisa kita lakukan selain berdoa. Kenapa lo tanya ini?”

Itu jawaban yang gw berikan sekitar Maret 2011.Ihklas dan berdo’a, dua point dari jawaban gw yang membuat Do bertepuk tangan kala itu. You are genius, he said.


Tidak terfikir bahwa suatu saat (dan saat itupun tiba), gw harus mengalami hari itu. Gw harus memaknai apa yang dinamakan ‘mengihklaskan’ seseorang lalu berdo’a untuknya. Bagaimana caranya?
Gw berusaha melupakan setiap kenangan yang kita bangun. Life must go on. Tapi di setiap sudut mata gw memandang, yang ada hanya sosok manusia yang banyak memberi gw inspirasi itu. Celengan ayam (akhirnya gw buang), high heel, jeans, gereja, kfc, mc d, sosis, cola….semesta seakan tak melepaskan gw dari ingatan tentang Do.
atau, cukupkah kalau gw bilang : ihklas, ihklas, ihklas, saya ihklas. Tuhan, tempatkan dia ditempat yang baik di sisi Mu.
Seperti itu?

Sore ini, setelah 2 hari mengurung diri dari dunia luar, gw berusaha berfikir jernih. Jika melupakan bukan cara yang mudah, bagaimana dengan mengenang?

Gw mulai mengingat Do. Bagaimana dia semasa kuliah, bagaimana dia menggemparkan kampus karena kecelakaan konyol di taman mini, bagaimana dia akhirnya berangkat ke Papua, bagaimana perjuangan memberi pendidikan bagi anak-anak di Papua, bagaimana dia menghadapi kerusuhan dengan oposisi di Papua, bagaimana dia kecewa karena kampus menariknya kembali ke Jakarta, bagaimana dia melanjutkan misi di Maluku dan membohongi seorang dosen di sana, bagaimana akhirnya dia dapat kembali ke Papua, bagaimana kecelakaan (lagi) yang dialaminya yang menyebabkan satu retinanya rusak, bagaimana ketakutan akan menjadi buta, bagaimana akhirnya dia terpaksa menekuni dunia bisnis, bagaimana usahanya mendapatkan project, bagaimana kerja kerasnya menghadapi persaingan usaha di Korea, bagaimana kekecewaannya terhadap gw, bagaimana dia memutuskan berhenti dan plg ke KL, bagaimana dia melarikan diri ke Jakarta, bagaimana dia hidup dengan menjadi buruh, bagaimana tubuhnya tak lagi sanggup dipaksa bekerja siang malam, bagaimana dia ditemukan dan kembali ke KL, bagaimana akhirnya dia terdeteksi liver, bagaimana dia mengalami tidur di penjara, bagaimana dia memutuskan mengakhiri, bagaimana dia diserang cancer, bagaimana dia hilang dan timbul…bagaimana percakapan yang menenangkan di hari-hari terakhirnya
gw menyusun setiap kepingan peristiwa yang berserakan di otak, menjadi satu gambar yang utuh. Ada senyum, ada tawa, ada canda, ada duka, ada kecewa, ada tangis, ada airmata, ada marah, ada kesal, ada penyesalan, ada rindu untuk seorang sahabat yang selalu tersenyum untuk gw.

Beberapa saat gw pandangi gambar-gambar itu. Setiap inci, detail dan gradasi warnanya. Menyelami hingga bagian terkelam, melihat dengan hati dan mendengar dengan sanubari, ada satu pesan di sana. Pesan yang baru gw sadari pada hari ke 17 kepergiannya.

Sahabatku, hari ini tersenyumlah untukku

Anggaplah ini wasiat. Dan dia sudah menuliskan wasiat itu jauh sebelum dia tahu waktunya tidak akan lama. Sedikit demi sedikit dia tuliskan dan dia berhasil menuntaskan sesaat sebelum dia pergi.
“I’m ready now
“Ready for what?”
“You listened me”

Itu percakapan terakhir pada detik detik terakhir. Dan yang terfikir oleh gw saat itu, Do telah memberi point 10 (skala 1 – 10) untuk sikap baik gw akhir-akhir ini.
Dalam setiap ungkapan bangganya, terselip sebuah harapan. Dalam setiap keegoisannya, tersimpan kepedulian. Dalam setiap kepasrahannya, tersimpan sebuah perjuangan. Dalam setiap ketakutannya, tumbuh sebuah keberanian.

Hari ini gw baru memahaminya. Apa yang telah dia rangkai jauh sebelum tubuhnya lemah dan dia menyelesaikannya tepat waktu. Dia menuntun gw pada sebuah rel, melewati stasiun demi stasiun, menemani saat memilih setiap persilangan.

Satu kali gw pernah bermimpi. Gw ada di kereta ekonomi Depok-Jakarta yang penuh sesak sama penumpang. Ditengah pengapnya udara, gw melihat Do melambai. Ingin segera menghampiri lambaian tangannya, namun tiba-tiba ia menghilang ditengah kerumunan orang.
Gw terbangun dengan perasaan yang sangat sedih.

Rel ini masih panjang. Namun Do siap untuk berhenti.
Dia berhenti disaat gw tak perlu lagi dipandu, disaat gw tak lagi takut memilih setiap persimpangan  yang muncul di depan mata. Dia membiarkan gw menemukan stasiun tujuan itu dengan tangan dan kaki yang gw miliki.Gw tidak akan biarkan kerja kerasnya untuk gw selama ini menjadi sia-sia.
Masih ada waktu untuk menarik benang kusut di otak, melepaskan duka yang bersemayam di hati, dan mereparasi muka yang penuh kerutan dan noda hitam.

Senin esok hari, gw akan teriakkan I Love Monday, I Love My day
Esok atau lusa, gw akan nikmati secangkir coklat panas sambil mengenangkan persahabatan ini dengan senyum dan hati yang lapang
Suatu hari nanti, gw akan tunjukan tangan yang menggenggam impian yang terwujud, seperti apa yang dia inginkan
Selamat jalan sahabat, I will always love you

Komentar

Postingan Populer