Mak Adang dari Negeri Keramat

Membaca kisah Mak Adang dari Negeri Keramat seakan membuat waktu berjalan mundur ke masa kanak-kanak. Terbayang suasana kampung khas Minangkabau, dengan rumah gadang bagonjong yang menjadi ciri khasnya. Halaman luas tanpa pagar tempat bermain anak-anak. Ada pohon dan semak dipinggir jalan yang jika disusuri sampailah kita ke sawah, ladang atau sungai dimana mata airnya dijadikan tempat pemandian. Karya bang Andi ini membawa saya teringat akan kampung dan menjadi rindu menghirup udaranya.

Satu hal yang banyak hilang dari bacaan masa kini, namun saya temukan dalam novel ini adalah pesan-pesan kebaikan yang kaya, terkandung dalam setiap paragrafnya. Melalui cerita bertutur tentang keseharian seorang anak dengan segala kepolosannya, rasa penasaran dan tentu saja beragam kenakalannya, Bang Andi memberikan motivasi yang sangat kuat akan pentingnya belajar. Menariknya, pesan “jangan malas belajar” itu disampaikan melalui rasa penasaran seorang anak yang malas belajar. Pembaca pun akhirnya menjadi tertular dengan semangat “agar menjadi orang berilmu” ini.



Diceritakan, alkisah seorang anak kelas 3 SD yang untuk sementara terpaksa tinggal dengan Ibu dan neneknya di kampung. Tinggal di rumah gadang-rumah dimana ibu, tante dan pamannya (yang dipanggil mamak) tumbuh besar. Lewat sebuah foto lama seorang mamak (dalam novel disebut Mak Adang)  yang iya temukan, maka dimulailah petualangan tentang bangsa-bangsa hebat yang pernah dikunjungi sang mamak, orang-orang hebat, dunia yang terus berputar dengan teknologi yang semakin canggih. Semua itu karena ilmu pengetahuan.

Novel ini juga menyentil pemuda-pemuda Minang, agar saat dewasanya kelak tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai laki-laki minang,  “Anak dipangku kemanakan dibimbing” – filosofi yang mungkin banyak terlupakan saat ini.  Bahwa laki-laki, selain harus bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya, juga memiliki kewajiban mengajari kemenakannya.

Tak melulu kisah tauladan yang ditunjukkan paman kepada keponakan, novel ini juga dibumbui cerita kenakalan kanak-kanak yang mengundang senyum jenaka, perkelahian antar teman hingga kisah haru persahabatan. Ibarat membuka jendela, membalik setiap lembar novel ini membuat pembaca melihat dunia yang lebih luas.

Memang Novel ini berlatar kisah anak nagari Rao-Rao, salah satu desa dengan adat Minang yang sangat kental. Namun buku inipun layak untuk dibaca dan menjadi koleksi perpustakaan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pilihan kata menjadi perhatian saya. Sebagai anak Minang, saya dengan mudah memahami setiap kata. Namun, bagi yang tidak terbiasa dengan bahasa Minang, akan kesulitan memahami cerita karena banyak kosakata Minang yang digunakan. Meski disetiap kosakata khusus ditambahkan penjelasan atau sinonimnya dalam tanda kurung, namun keberadaan penjelasan dan tanda baca tersebut akan mengganggu nikmatnya membaca cerita.

Tentang Penulis
Saya sendiri mengenal Bang Andi – penulis Mak Adang dari Negeri Keramat sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu, saya yang masih mahasiswa dan selalu haus dengan aktivitas baru diajak seorang teman untuk membantu Bang Andi menulis biografi seorang tokoh. Jadilah setiap sore sepulang kuliah saya menghabiskan waktu di sebuah rental komputer, dekat Stasiun Kober-Univ. Indonesia. Kala itu, stasiun UI masih banyak dipenuhi toko-toko buku, aksesoris komputer dan pernak-pernik yang sesuai kantong mahasiswa (salah satu alasan senang menulis di sana :p)

Setelah proyek pertama itu selesai, dan kesibukan kuliah (yang disambi freelance di sebuah surat kabar harian), mengakibatkan hilang kontak dengan lelaki Minang itu. Beberapa tahun kemudian, berkat Mark Zuckerberg dengan facebooknya, saya kembali bertemu dengan bang Andi dan langsung terlibat dalam project menulis yang sedang dia garap Ensiklopedi Olahraga Indonesia. Selama sebulan full (kebetulan saat itu Ramadhan), saya berkutat dengan beragam istilah-istilah olahraga. Setelah itu, lagi-lagi hilang kontak.

Jejaring sosial lagi-lagi menjadi jembatan koneksi dengan bapak 3 orang anak ini. Beberapa bulan yang lalu, lewat Linkedin saya kembali berkomunikasi dan saling bertukar kabar. Berbeda dengan sebelumnya, setiap bertemu saya disodori segambreng naskah untuk ditulis. Kali ini saya disodori sebuah Novel dengan cover berwarna hijau tosca (sebelumnya dikirim dalam bentuk ebook, tapi akhirnya saya pesan versi aslinya, agar lebih enak dibaca). Novel ini menjadi kawan saya dalam perjalanan berangkat ke kantor, penghilang jenuh saat mumet dengan urusan di kantor dan cerita pengantar tidur. Kebetulan pula di kantor ada rekan kerja asal Pariaman. Sayangnya dia tak hobi membaca tapi penasaran. Jadilah saat istirahat siang atau waktu luang sebelum pulang, saya mendongengkan kisah Mak Adang ini.

Biasanya tiap ketemu disuruh menulis, kali ini disuruh membaca ^,^

Two tumbs up buat Bang Andi, ditunggu lanjutan Trilogi Negeri Keramat ini ^,^    

Komentar

Postingan Populer