Makan Ikan dari Teluk Jakarta = Menumpuk Racun di dalam Tubuh
Agustus September, untuk pertama kalinya saya mengunjungi
dokter spesialis kulit dengan keluhan gatal-gatal di sekujur tubuh. Sebenarnya,
keluhan tersebut sudah ada sejak 2 bulan sebelumnya. Awalnya saya pikir karena
cara mandi saya yang asal (maklum, lagi musim hujan, cuaca dingin jadi malas
kena air :p) . Namun, lama kelamaan merah dan ruam di kulit bukannya berkurang,
tapi malah semakin banyak. Bersyukur bagian wajah tidak dijajah juga.
Akhirnya, atas paksaan teman yang kasihan melihat tangan
saya merah dan bengkak-bengkak, dengan berat hati saya membuat janji kunjungan
dengan dokter spesialis kulit di RS UIN Syarif Hidayatullah. Kata teman saya
itu, dokter kulit di sana cukup cihuy, meski biaya konsultasi dan obatnya juga
agak mahal.
Tapi yang selama ini membuat saya enggan ke dokter bukan
hanya soal biaya yang pasti mengurangi jatah jajan, tapi persoalan antriannya.
Yang namanya dokter, di tempat praktek pribadi maupun yang parktek di RS,
pastinya selalu ramai dengan pasien. Saya selalu ingat sewaktu masih SD, ada
seorang dokter yang tinggal dan buka praktek di depan rumah, setiap sore selalu
ramai oeh pasien. Ada yang datang dari abis zuhur, padahal prakteknya baru
dibuka abis ashar. Ckckckc…..kenapa banyak orang yang harus ke dokter ya?
Jadi intinya saya malas ke dokter karena malas antri dan
malas nunggu lama-lama
Tapi problemnya, ngadepin teman yang ‘selalu tahu kondisi
kita’ itu g gampang. Yang ada, setelah di daftarin saya ditungguin sampai
dipanggil suster masuk keruang pemeriksaan, meski ngantri. Setelah periksa ini
itu, bu dokter menyimpulkan saya terkena virus (entah apa namanya) dan diberi
selembar resep. Bu dokter yang memang baik dan ramah itu meminta saya datang
kembali 2 minggu kemudian, untuk efek obat dan perkembangan virus.
Singkat kata, saya pulang membawa sekantong obat, yang terdiri
dari: 1 lembar tablet antibiotik, 1 botol salep racikan (terdiri dari beberapa
salep yang di aduk jadi satu), 1 sabun hijau (katanya ini sabun paling
higienis), 1 bedak tabur. Harganya jangan di Tanya, saya harus merelakan jatah
beli baju + sepatu bulan itu raib untuk beli obat.
Harga menentukan kualitas. Si obat ternyata manjur. Meski
ruam dan gatalnya belum hilang 100% dalam 2 minggu, tapi sudah jauh berkurang. Tinggal
beberapa ruam di bagian lipatan siku, kaki dan leher. Akhirnya, sayapun
memutuskan untuk tidak memenuhi permintaan bu dokter untuk mengunjunginya
kembali setelah 2 minggu.
Dua bulan setelah itu, ruam dan gatal di kulit saya sudah
hilang, kecuali setumpuk ruam merah yang bandel di bagian betis kaki kanan.
Ruam bandel di betis tersebut suka hilang timbul. Meski salep ajaib yang saya
dapat beberapa bulan sebelumnya sudah habis, saya tetap malas ke dokter.
Apalagi masalah kali ini jauh lebih kecil daripada yang sebelumnya. Apalagi
copyan resep sebelumnya masih saya simpan. Jadilah saya mendatangi satu apotik
di Depok yang katanya semacam grosiran obat dan harganya jauh lebih murah.
Benar saja, apotik yang tidak bisa dibilang besar dan berada
di bangunan tua itu sangatlah ramai. Lebih ramai daripada antrian dokter.
Bedanya, jika antri di dokter kita bisa duduk manis sambil nunggu nama dipanggil,
di apotik ini, kita musti berdesak desakan dengan pengunjung yang lain yang
kebanyakan ibu-ibu, dan jangan lupa berteriak “Mba…saya mba…”
Tapi perjuangan berteriak di tengah ibu-ibu itu membawa
hasil kok. Untuk 1 botol salep racikan yang sama, saya hanya bayar setengah
dari harga kunjungan ke dokter sebelumnya. Ckckckc…hemat nian J
Begitulah, akhirnya hari-hari betis saya tidak bisa
jauh-jauh dari salep racikan tersebut.
Satu kali, seorang teman yang sedang memperhatikan aksi saya
oles-oles salep di betis nyeletuk “Lo alergi kali,”
Hmm… kalimat singkat itu mendadak mengagetkan saya. Satu hal
yang tak pernah terfikirkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, harga diri saya
sedikit terinjak sodara-sodara. Bayangkan, saya sudah hidup selama 25 tahun, di
atas tanah Indonesia, mau di pinggir laut, di dalam hutan ataupun ditengah kota
yang penuh polusi seperti Jakarta. Selama 25 tahun makan dari padi yang di
tanam di sawah di tanah Indonesia, dari ikan lautan Indonesia, minum dari air
yang mengalir dari mata air Indonesia. Tiba-tiba sekarang saya menjadi alergi? Alergi
apa? Makanan? Minuman? Udara?
“Coba deh berenti makan ikan,” ujarnya lagi.
Sial. Ikan adalah darah daging saya. Kenapa sekarang ada
orang yang menyuruh saya berhenti makan ikan?
Sungguh, sebagai anak yang besar di kota pinggir pantai,
ikan adalah menu sehari-hari saya. Dan sekarang saya dituduh alergi ikan. Rasanya
seperti dilempar ke padang pasir *g nyambung
Tapi akhirnya saya penasaran juga. Saya berhenti makan ikan
dan kawan-kawannya. Ajaib, dalam 2 minggu, ruam yang membandel itu hilang. Lalu
saya tes makan ikan, besokannya mulai gatal lagi.
Huff….tuduhan teman saya terbukti. Saya alergi ikan. Saya
pun frustasi. Kalau tidak makan ikan, lalu makan apa???? Saya percaya ikan
penyumbang terbesar perkembangan otak. Meski masa pertumbuhan saya sudah lewat,
tapi tak ada salahnya toh tetap makan ikan, toh protein ikan dapat membantu
mencegah alczeimer.
Akhirnya demi betis, saya tidak makan ikan. Tapi sesekali,
saya tergoda dengan ikan tongkol balado di warung ibu sebelah kantor. Dan
dipastikan, 1 minggu ke depan saya akan ole soles salep lagi di betis.
Satu kali, saya iseng cerita ke kakak saya yang ahli
dibidang kesehatan perihal alergi ikan. Jawaban kakak saya membuat saya sedikit
lega. Dia bilang “Itu karena kamu makan ikan di Jakarta, yang lautnya sudah
tercemar. Otomatis yang dikandung ikan tidak lagi gizi, melainkan racun,”.
Setelah saya pikir-pikir, masuk akal juga. Melihat kondisi
teluk Jakarta yang menjadi muara belasan sungai di Jakarta, yang juga menjadi
aliran limbah industry dari 21 pabrik besar. Sedikitnya, 6.500 ton sampah,
termasuk limbah logam berat mengalir ke teluk sehingga perairan di sekitar
kepulauan seribu menjadi kotor dan keruh.
Teluk Jakarta: keruh dan dipenuhi sampah |
Saya menemukan pernyataan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) di awal 2013, bahwa Teluk Jakarta dalam kondisi tercemar
berat, terutama di radius satu mil dari pantai. Sayangnya, ada sekitar 1.300
titik budidaya laut tersebar di perairan tersebut. Satu di antaranya budidaya
kerang hijau. Dari lingkungan budidaya
yang tercemar itulah asupan gizi warga Jakarta dan sekitarnya dipertaruhkan.
Ikan, bagi warga Jakarta bukan lagi menjadi protein penentu
kecerdasan anak. Makan ikan yang berasal dari teluk Jakarta berarti
perlahan-lahan memasukkan racun ke dalam tubuh, yang suatu saat dapat mengakibatkan
alergi kulit seperti saya. Atau, dalam kondisi terparah , mengkonsumsi ikan
yang tercemar logam dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian.
Ironisnya, banyak masyarakat yang tak tahu kondisi tersebut.
Pun saya, jika tidak mengalami gatal-gatal, seterusnya akan cuek saja jajan
kerang hijau yang dijual abang-abang (yang ternyata adalah hasil budidaya teluk
Jakarta). Lalu, bagaimana dengan anak-anak SD yang begitu pulang sekolah
disambut oleh gerobak kerang hijau yang menguarkan wangi sedap pengundang
selera? Bagaimana pula dengan ibu-ibu yang selama ini mengandalkan kebutuhan
protein anaknya dari ikan karena harga daging yang senantiasa mahal? Jika kita,
warga Jakarta tidak makan ikan, sudah cukupkah kebutuhan protein di peroleh
dari tempe dan telur saja?
Pemerintah adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab
atas persoalan ini. Mengapa pabrik-pabrik yang membuang limbah ke sungai tidak
ditertibkan?
Namun, menyalahkan pemerintah saja toh bukanlah jalan
keluar. Kenapa tidak mulai dari diri kita sendiri: stop buang sampah ke sungai, stop buang sampah sembarangan
Di pagi hari, begitu melewati kali Pesanggrahan, saya kerap menyaksikan ibu-ibu / mas - mas melempar sekantong sampah ke kali yang melewati perbatasan Jakarta - Banten itu. Pemandangan seperti itu, saya yakin akan sama bila melewati sungai-sungai lainnya di Jakarta, sebut saja Ciliwung, Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Krukut,
Kali Grogol, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Kali Cipinang,
Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Sampah rumah tangga di sungai Ciliwung |
Bagaimana pun, sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai
turut berkontribusi atas tercemarnya ikan-ikan di teluk Jakarta. Atau,
setidaknya, dengan menyehatkan sungai, kebutuhan tubuh akan protein ikan akan
tercukupi: ketersediaan ikan sungai yang sehat dan bebas polusi.
Jika kita sudah berhasil menghentikan pembuangan sampah rumah
tangga ke sungai, barulah kita boleh bangga dan berteriak dengan lantang agar
pemerintah dapat menertibkan pengusaha-pengusaha bandel yang hanya bisa
mengeruk rupiah tanpa memikirkan lingkungannya.
Duh, berbahaya ya...Jadi males makan ikan di ibukota RI. Kalo soal makan ikan, orang Jepang memang jagonya. Website iyaa.com memuat pasaran Jepang menyerap 41,04 persen ekspor ikan dan udang asal Bali, dari total devisa yang diraup sebesar 114,80 juta dolar AS selama 2013.
BalasHapus