Kombinasi Merah Putih - 45 - ruang upacara - 10.10 WIB


Saya tidak percaya kebetulan. Tapi saya menyukai pertanda.
Pertanda dan penanda, dua bagian dari teori semiotik yang saya gunakan disaat menyusun tugas akhir di Kampus Tercinta.

Banyak hari saya lalui dengan bermain-main dengan pertanda. Tapi kali ini, saya ingin bercerita tentang pertanda yang membuat saya cukup kaget hingga sepotong pizza yang baru saja akan menjadi korban keganasan mulut terjatuh ke meja.

Dua minggu yang lalu, saya di undang sebuah perusahaan asuransi milik pemerintah (BUMN). Jadilah saya bersama Adit, partner yang  ‘sehidup seperjuangan’ di Markas menembus kemacetan jalan protocol Jakarta di sore hari, demi sebuah presentasi perkenalan produk Markas kami. Meski sempat menunggu pengundang yang masih ada keperluan lain selama 30 menit, tapi presentasi berjalan sukses. Saya berani katakana ketertarikan mereka terhadap apa yang saya sampaikan adalah tulus. Saya terbiasa menghadapi bayak beauty contest, dari situ saya belajar membedakan mana orang yang basa-basi, mana yang benar-benar tulus.

Sang pengundang tertarik dengan kegiatan media dan aktivitas CSR yang pernah kami kerjakan. Sayangnya, kebutuhan mereka yang mendesak adalah produksi iklan (TV Cpmmercial/ TVC), dalam rangka ulang tahun mereka yang ke 40. Meski saya bukan ahli di bidang iklan dan advertising, tapi saya mempunyai banyak teman yang pastinya akan tertarik mengerjakan proyek ini. Saya pun berjanji, akan datang pada minggu berikutnya untuk menyerahkan konsep dan anggaran biaya yang dibutuhkan untuk produksi 3 jenis TVC yang diminta, plus berjanji memboyong tim produksi yang akan mengerjakan pekerjaan tersebut.

Pulang ke rumah, saya langsung menghubungi Bahlul, satu lagi ‘konco plankin’ yang selalu setia mendengarkan curhat saya terutama soal peristiwa-peristiwa berdarah di markas. Ia langsung membuatkan saya janji dengan satu tim kreatif, yang menurutnya enak buat diajak kerjasama. Jadilah, sebuah pertemuan di atur hari Minggu sore di PIM.

Hari Minggu sore, saya sudah mondar mandir di PIM. Tadinya saya pikir PIM cukup nyaman buat ngobrol karena tempatnya tidak terlalu ramai. Tapi ternyata ramalan saya salah. PIM sudah mirip ITC di hari minggu. Semua orang tumplek blek di sana. Bahkan untuk menemukan satu meja yang cukup diisi 7 orang saja susahnya minta ampun. Satu-satunya tempat yang tersedia adalah pizza hut, itupun hanya sisa meja dengan 6 orang. Ya sudahlah. Akhirnya saya duduk di sana bersama Bahlul sambil menunggu tim kreatif yang dijanjikan. Baru pada saat itulah Bahlul mengatakan, kalau tim kreatif yang dia janjikan adalah timnya Dewi, ex karyawan sebuah perusahaan PR yang lumayan ngetop.

Saya langsung mangap. Saya kenal mba Dewi karena pernah mengerjakan satu project bersama dia. Komunikasi dengan mba Dewi pun cukup sering melalui BBM. Bahlul malah ketawa. Sial  betul. Tau begitu saya bisa atur janji sendiri, tidak usah jauh-jauh ke PIM ngikutin maunya Bahlul.
Tak lama kemudian, Mba Dewi dan teman-temannya pun datang. Kursipun digeser-geser, lalu pembicaraan dimulai. Mba Dewi mengenalkan timnya, Max dan Jumbo yang berperan sebagai kreatif. Mereka tergabung dalam industry kreatif yang dinamakan 45 (fourty five).

Saya pun  menjelaskan permintaan si calon klien, perusahaan asuransi milik BUMN itu.
Setelah ngobrol panjang lebar, akhirnya di capai kata sepakat. 45 tertarik untuk join dalam project ini. Menurut mereka, ini sangat menantang dan sebuah kesempatan yang saying untuk dilewatkan. Mereka pun berjanji menyerahkan konsep  1 minggu kemudian.

Hari Kamis, si calon klien kembali menghubungi saya. Kali ini mengabarkan berita yang menurut saya tidak terlalu baik. Direksi meminta agar pembuatan TVC dengan cara beauty contest (lelang). Untuk itu, mereka kembali akan mengundar para calon vendor untuk menghadiri briefing bersama, pada keseokan harinya (Jumat), pukul 10 teng di kantor mereka.

Yang membuat saya pusing bukan hanya beauty contest yang tiba-tiba itu, tapi pada jadwal yang dikasih. Hari jum’at pagi, ada konpers dimana saya adalah PJ nya. Sementara Adit kalau pagi juga tidak bisa diganggu karena masih ada newsmonitoring yang jadi tanggung jawabnya. Minta tolong Bahlul, ternyata dia juga lagi gak bisa, katanya ada urusan ke Arab (entah Arab bagian mana…)
Akhirnya, dengan berat hati, saya katakan ke Mba Dewi, bahwa dari markas Merah Putih alias RedWhite tidak ada yang bisa hadir. Mba Dewi sepertinya tidak keberatan, hanya tim kreatif 45 yang akan menghadiri briefing tersebut. Saya lega, tapi juga tidak enak hati L

Jum’at sore, usai aktivitas di markas, saya menghubungi Mba Dewi, pengen tau update nya. Sayangnya, Mba Dewi g bisa di hubungi. Ia baru mengirimkan satu pesan untuk bertemu di hari Minggu. Sayangnya, weekend saya ada acara keluarga. Terpaksalah saya tunda lagi hingga hari Senin.  Mba Dewi juga tidak mau membicarakan lewat telepon, dengan alasan agar saya bisa lebih enjoy menikmati akhir pekan saya. What a…. nice partner J

Finally, Senin datang juga. Saya sudah tak sabar mendengar cerita Mba dewi tentang brief hari Jumat itu. Apakah kabar baik? Atau kabar buruk?
Tim 45 datang. Ada Jumbo, Maxi, Dimas dan tentu saja kepala sukunya: Mba Dewi. Dari mukanya, kelihatan mereka sengaja membuat saya penasaran. Huhh…tega sekali
Dan inilah cerita yang membuat saya ternganga, sampai-sampai sepotong pizza dengan taburan paprika dan beef blackpaper terjatuh dan saosnya belepotan di meja.

“Jadi, hari itu, saya dan Maxi datang. Kita tim kreatif dari Fourty Five (45), mewakili RedWhite (merah putih). Begitu tiba, kita diarahkan ke ruang pertemuan yang sudah disiapkan, namnya ruang upacara. Setelah menunggu beberapa menit, penjelasan pun dimulai, tepatnya pukul 10.10, dan saat itu adalah hari Jum’at”

Dimas menguraikan satu kalimat, sambil menunjuk berita acara pertemuan yang menunjukan nama ruangan, hari dan tanggal pelaksanaan acara serta waktu pelaksanaan.

Saya yang terbiasa bermain dengan kata-kata, si otak langsung memilah kata-kata yang dia suka:
45 - merah putih - ruang upacara - 10.10 wib - hari jum’at

Apakah bisa menebak apa yang saya maksud?

Kata-kata itu mengarah pada satu peristiwa: proklamasi   

“Semoga pertanda baik, ya” ujar Mba Dewi sambil tersenyum, menyadari ekspresi saya yang kaget.
(Saya justru merasa, ekspresi waktu itu nggak karu-karuan, antara kaget, senang sampai malu telah menjatuhkan pizza dan membuat meja berantakan)

Pertanda, Penanda

Itu kata yang secara tidak sadar terkonsep di otak saya sedemikian rupa, sehingga setiap apa yang saya lihat, dengar dan alami, si otak dalam hitungan detik akan merangkai satu kondisi, yang mungkin menurut sebagian besar orang adalah absurd. Tapi bagi saya, apa yang saya alami dan apa yang dilakukan otak tanpa perintah adalah satu keajaiban yang tidak dapat saya jelaskan. Saya hanya bisa menikmatinya dan mempelajari setiap makna yang mungkin terkandung di dalamnya. Saya sebut mungkin, karena tidak ada sesuatu yang pasti di dunia.

Saya menyukai pelajaran Filsafat Komunikasi yang diberikan dosen muda nan cantik, Mba Wied panggilannya semasa kuliah. Apa kabarnya dosen yang pernah mergokin saya nge - joki - in satu teman pas ujian semester 2 itu?
Dari banyak hal, saya paling suka cerita tentang Roland Barthes, seorang ahli semiotika yang mengembangkan 2  tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas yang  menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi  menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Cerita saya di atas, dimana otak secara tidak sadar merangkai kombinasi  45 - merah putih - ruang upacara - 10.10 wib - hari jum’at  , menurut saya adalah bagian dari tingkatan konotasi, dimana terdapat pengaruh cultural yang mempengaruhi maknanya.

Meski saya menyukai Barthes, tapi hanya sedikit saja saya cuplik teorinya dalam tugas akhir saya.  Saya lebih banyak bercerita menggunakan model Sara Mills.
Well, untuk kasus kali ini, saya benar-benar berharap hasil yang tidak mengecewakan dari pertanda ini. Jika selama ini saya hanya menjadikan pertanda  dan penanda itu sebagai satu permainan asah otak, berjudi dengan nasib, atau sekedar mengisi romantisme absurd saya, kali ini saya mengharapkan  sebuah tingkatan denotasi : We win the beauty Contest !!

Komentar

Postingan Populer