Extra Shot Espresso
Mungkin benar adanya, kopi adalah cara terbaik mengungkapkan rasa. Bagi sebagian orang, menyesap kopi ibarat romansa – entah itu hal manis atau pahit. Sering mendengar istilah romantisasi kopi kan? Nah, mungkin itulah penjelasan sederhananya.
Jika kopi lekat dengan rasa, maka pembuatnya – atau sang barista tak kalah filosofnya. Di kedai-kedai kopi sederhana, kadang mereka menyeduh kopi untuk pelanggan sambil bicara tentang kehidupan, cinta hingga politik. Tentu saja disampaikan dengan bahasa sederhana, namun kadang bikin mikir juga. Entah memang topiknya susah di mengerti, atau baristanya yang kelewat bijak dan bahasanya kelewat filsuf untik dicerna otak yang sedanyanya ini.
Saya sendiri keseringan hanya angguk-angguk saja, sesekali tertawa kecil mengiyakan. Ada baiknya menikmati saja interaksi singkat ini tanpa perlu berfikir kelewat panjang. Ada barista yang bahagia dengan bercerita, dan ada saya yang tenang setiap menghidu aroma kopi digilang.
Lain lagi bila masuk ke kafe dan kedai kopi kekinian, dimana kopi digilang dengan mesin, diseduh dalam hitungan menit - di mana barista berlomba dengan waktu dan banyaknya orderan yang masuk. Aroma kopi tak lagi terasa, berganti senandung lagu romantis dari pengeras suara di sudut ruangan yang dinikmati pengunjung. Meski demikian, barista tetaplah barista. Meski dikejar daftar pesanan, kopi tetap harus diromantisasi. Seperti saat
“Siang kak, apa kabar hari ini? Di luar mendung yaa..mau pesan apa?” seorang barista muda menyapa. Ia sebentar melirik saya, melempar senyum. Sementara tangannya ulet menyusun gelas plastik dan memasukkan biji kopi ke mesin penggiling otomatis. Kafe kekinian itu tampak sepi, tapi si barista terlihat sibuk menyiapkan orderan. Bukan..bukan karena pelanggannya tak terlihat, tolong jangan berfikir yang tidak-tidak dulu. Tapi penyebabnya orderan yang masuk secara online. Cuaca di luar mendung, mungkin bikin orang-orang malas keluar rumah.
Saya menyebutkan pesanan, seperti biasa: latte panas, sembari menyodorkan tumbler yang
saya bawa. Barista mengonfirmasi ukuran sesuai tumbler, saya mengangguk saja.
“Mau extra shot kak?” tanyanya tiba-tiba.
Biasanya, saya memilih takaran normal saja. Saya tidak butuh kafein berlebih. Menyeruput latte
hanyalah sekedar teman sambil membuka laptop di kedai orang. Anggaplah harga segelas latte
sebagai imbalan internet, listrik dan kursi yang saya duduki sepanjang hari untuk menuntaskan
tugas-tugas orderan klien. Itu biasanya. Tapi hari ini, sepertinya tidak biasa.
“Boleh deh, “ sejenak ragu, tapi akhirnya saya menyetujui tawaran si barista untuk
menambahkan espresso. Ia membalas saya dengan senyum penuh arti.
Sambil menunggu beberapa menit si barista bekerja dengan cekatan, saya menyusun ulang
sejumlah list di kepala. Mulai dari target KPI yang belum tercapai, sejumlah dokumen yang
belum diperiksa, budget program yang minggu lalu di pangkas, lalu presentasi pitching...
“Ini ya kak... selamat menikmati,” riang ia menyodorkan tumbler dengan aroma pahit sedikit manis yang menerobos indera. Sejenak saya lupa dengan beratnya tugas yang harus diselesaikan hari itu, berganti ingatan akan hujan dan rindu bercakap santai dengan sahabat. Nah kan, lagi-lagi kopi menciptakan rasa yang tak biasa.
Saya meraih tumbler dan mengucapkan terimakasih, lalu berlalu menuju meja
tempat laptop sudah terbuka. Saat itulah saya melihat secarik kertas dengan tulisan tangan
yang rapi. “Ka Nila, you are strong more than you think,”.
Ahh... membaca pesan singkat tersebut, saya terharu. Rasanya, terlalu receh kalau dibilang
kalimat manis tersebut sekedar isengnya si barista. Terlalu pede juga jika saya bilang barista
cantik itu perhatian dengan pelanggan yang datang di tengah mendung itu. Ia hanya terbiasa
membaca pelanggannya, dari satu-dua kalimat basa basi, lalu menebak mood konsumennya
hari itu.
Setidaknya, dari satu kalimat manis hasil tebak-tebakan itu, ia berhasil membuat saya tersenyum sepagi itu.
Komentar
Posting Komentar