Work From Bali Vs Study Form Bali

Cerita ini mungkin akan menjadi sebuah "unpopular decision" yang tidak akan di lakukan orang tua pada umumnya..  bahkan saya akan diamuk suami jika cerita ini sampai ketelinganya. Tapi, demi mengingat sebuah moment yang mungkin tidak akan terulang, apapun yang terjadi nanti mari kita pikirkan kemudian. Saat ini, mari kita merekam ingatan ke dalam tulisan....


Semua berawal dari assignment mendadak dari salah satu klien pada akhir April kemarin, untuk menghadiri sebuah seminar internasional di Bali. Seperti biasa, penugasan tersebut datang mendadak, H-1 jelang keberangkatan. Singkat cerita, segera setelah agenda di Bali confirm, saya mengabari suami, perihal tugas luar kota tersebut. Tak butuh waktu lama menunggu pesan yang dikirim melalui WA di baca, suami menjawab OK. Lalu urusan tiket dan akomodasi pun diproses oleh Fira, teman yang biasa mengurusi hal-hal seperti ini. 

Seminar yang harus dihadiri  dimulai Selasa malam hingga Rabu siang. Meski demikian, saya tetap request flight pagi di hari Selasa, karena akan lebih efisien di waktu. Tiba lebih awal di Bali punya waktu setidaknya 4-5 jam di siang hari untuk menyelesaikan beberapa report. Mengingat  bertepatan dengan akhir bulan, report project harus segera di selesaikan. Lagi pula, flight pagi biasanya terhindar dari delay - apapun alasannya - sehingga tidak mempengaruhi mood. 

Selepas jam makan siang hari itu, Fira mengirimkan kode booking pesawat dan hotel. Super Air Jet, boarding pukul 05.50 WIB dari terminal 1, dan 1 tiket hotel untuk 1 makam di kawasan Ungasan, tidak jauh dari lokasi seminar yang akan di hadiri. Tiket dan akomodasi untuk saya, Rizki dan Charli, partner untuk handling project tersebut. Well, ini bukan kali pertama kami disatukan dalam 1 tim, sudah ada beberapa project sebelumnya kami bertiga bekerja sama. Meski kita bertiga ada rentang usia, tapi so far so good, ini termasuk komposisi tim yang oke menurut saya. 

Ini yang terjadi kalau kita bertiga di satukan dalam 1 project wkwkkw

Lain kali sepertinya saya akan berbagia cerita kita bertiga di perjalanan lainnya yang tidak kalah seru.. :p 


Mengingat besok subuh sudah harus berangkat, saya berniat pulang lebih awal hari itu. Meski cuma 1 hari, tapi tetap saja butuh packing ini itu dan segala jenis printilannya kan? 

Sayangnya, selalu ada hal-hal di luar rencana. Baru saja merapikan barang-barang untuk segera pulang, sebuah panggilan masuk, dari salah satu mitra yang butuh koordinasi segera. Seolah tidak ada pilihan, akhirnya bukannya pulang saya malah meluncur ke arah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Seharusnya, koordinasi singkat ini bisa diselesaikan sebelum magrib..

Dalam perjalanan menuju Kebun Jeruk itulah saya menghitung banyak hal: mengingat-ingat stok bahan makanan di rumah, PR dan tugas sekolah anak-anak... dan saat itulah saya teringat, Yaya si anak kelas XII yang sedang persiapan ujian SNBT UTBK. Sekolahnya sudah libur sejak awal April, tapi hari-hari terakhir sama padatnya dengan sekolah - bahkan lebih. Persiapan UTBK seolah membuat Yaya punya beban dua kali lebih berat dibanding UTS atau UAS. Bukan kita - orang tua - yang meminta lebih, tapi ia sendiri yang menentukan standarnya. Ingin masuk jurusan impian  di kampus impian, tentunya ada skor try out yang harus dikejar. 

Satu hari, saya pernah berujar, jangan terlalu keras terhadap diri sendiri, jangan sampai kurang waktu tidur. Tidur jam 10 malam, jam 2 atau 3 sudah mandi dan lalu duduk di meja belajar. Orang tua mana yang tidak khawatir melihat anak tidur cuma 4-5 jam sehari? 

Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas. Tidak ada salahnya memberi suasana baru untuk Yaya, agar dia sedikit lebih rileks..

Sekitar 300 meter sebelum pintu tol Pondok Pinang - jalur pintas menuju Kebon Jeruk, saya menepi. Saya mendial no Fira, minta tolong mengecek apakah masih ada tiket pernerbangan yang sama.  Fira bilang masih ada, tapi harga sudah naik. "Ok, g apa apa, tolong nanti bantu booking 1 lagi ya Fir, saya konfirmasi sekitar 10 menit lagi," saya memberi arahan. 

Setelahnya, saya segera menghubungi rumah, minta telepon diberikan ke Yaya. Kenapa tidak langsung menghubungi no Yaya? ya karena kalau di rumah HP nya selalu ditaruh di bawah bantal, tidak akan dengar kalau ada panggilan masuk. 

Secepat kilat saya bicara begitu suara di seberang sana menjawab halo. "Kakak, besok mama harus ke Bali, Kakak mau ikut? tapi cuma dua hari," saya menjelaskan. Dari seberang sana, terdengar jawaban mau yang bersemangat. 

"Tapi mama dua hari full seminar, kakak main sendiri nanti di sana gimana?" 

"Iya, g apa-apa," ujarnya. 

Saya mengabari Fira untuk meminta dibookingkan 1 tiket lagi, sembari mengirim data Yaya. Setelahnya saya melanjutkan perjalanan, ada yang harus segera diselesaikan di seberang tol sana. Soal mengabari suami bahwa saya akan membawa Yaya, saya pikir nanti saja. Toh juga tidak membuatnya bolos sekolah, seharusnya tidak ada alasan sang bapak keberatan..

Saya pikir masalah selesai...

Baru setengah perjalanan di jalan tol, sebuah panggilan masuk dari Fira. Saya menjawab melalui bluetooth yang tersambung ke perangkat. Fira mengabari kalau penerbangan Jkt - Bali yang sama dengan tiket sebelumnya sudah habis. Opsinya adalah flight berikutnya 2 jam setelahnya, atau di jam yang sama, tapi beda maskapai, ada Air Asia. Sementara untuk penerbangan balik ke Jakarta masih available. Sebuah pemberitahuan yang menuntut saya harus berfikir cepat. 

Saya menimbang banyak hal. Membatalkan rencana tentu bukan pilihan ok, mengingat tadi Yaya terdengar sangat bersemangat waktu di ajak. Melanjutkan rencana, sudah pasti kita akan terpisah, dan ini bukan seperti naik ojol masing-masing di Jakarta. Tapi ini pesawat.. semacam ada risiko yang tentu saja kekhawatiran menjadi lebih besar. 

Memang dulu, Yaya pernah naik pesawat sendirian rute Padang - Jakarta, malah waktu usianya masih 8 tahun. Tapi justru karena masih di bawah umur, kita bisa minta layanan Un-accompanied Minor atau layanan pendampingan dari maskapai untuk anak di bawah umur yang bepergian tanpa dampingan orang dewasa. Masalah, Yaya sudah punya KTP. 

"Mba, kayaknya harus cepat deh di proses, ini harganya naik terus, long weekend soalnya nih, ada tanggal merah," suara Fira di seberang sana membuyarkan. Tanpa banyak pertimbangan lagi, saya menjawab Fira, untuk melanjutkan proses tiket - Air Asia boarding pukul 06.00 WIB. Tidak apa beda maskapai, yang penting waktu keberangkatan dan tiba di Bali sama. 

Oke, sementara beres. Sisanya tunggu nanti sampai di rumah. 

Saya menyelesaikan urusan, dan segera pulang. Tiba di rumah sekitar pukul 20.00, saya segera menuju kamar Yaya. Begitu membuka pintu kamar, setumpuk pakaian ternyata sudah siap di atas tempat tidur, dan ransel yang diisi penuh dengan buku dan alat tulis. Tanpa saya bilang, dia ternyata paham. Jika orang dewasa sedang fomo dengan Work from anywhere, maka diapun bisa belajar dari pulau lain :p 

"Ransel kakak isinya buku, bajunya di koper mama aja ya," ia menunjuk tumpukan baju yang sudah disiapkannya. Saya mengangguk, sambil menariknya duduk. Ada hal penting yang perlu segera di jelaskan. 

"Jadi begini," saya memulai. 

"Tiket berangkat mama pakai Super Air Jet, ternyata tadi waktu mau dipesan lagi, sudah habis. Adanya Air Asia, waktu berangkatnya sama-sama jam 6, tapi beda pesawat. Kakak berani?" saya menjelaskan hati-hati. Saya melihat air mukanya berubah. Ia ragu. 

Naik pesawat bukan hal baru bagi Yaya, tapi sendirian mengurus keberangkatan mulai dari ruang tunggu keberangkatan, ini yang pertama. Jangankan Yaya, saya sendiri sebenarnya menyimpan banyak kekhawatiran. 

"Kalau kakak tidak mau tidak apa-apa, nanti bisa cancel aja tiketnya, lain kali aja kita ke Bali lagi," saya menenangkan. 

"Berani, kakak bisa," ia buru-buru menjawab. 

Well, sebagai mantan anak pramuka yang merantau dan mencari ilmu bertahan hidup secara otodidak, tentu jawaban Yaya membuat saya sedikit bangga. Jadi nih kita trip ke Hanoi Kak... :D 

Setelahnya, saya menjelaskan beberapa hal, terutama soal keberangkatan dan ketibaan di Bali, dan dimana dia harus menunggu. Bali sebenarnya bukan kota baru bagi Yaya, ini akan menjadi kali ke tiganya eksplore negeri Dewata tersebut. Jadi seharusnya ia  cukup familiar dengan Bandara Ngurah Rai.

Sekitar 30 menit kemudian, saya beranjak. Waktunya packing dan berurusan dengan suami soal Yaya yang akan ikut ke Bali.

Si Bapak masih sibuk dengan pekerjaannya begitu saya menggeret koper kosong ke dalam kamar. 

"Besok mau diantar jam berapa?" ia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari peralatan kamera yang berantakan di atas meja. 

"Jam 4 deh, biar bisa subuh di bandara aja," ujar saya. Tak terdengar lagi jawaban. 

"Yaya ikut nemenin mama ya, mama sendirian di hotel, lagian udah libur juga," saya berkata pelan. Si Bapak tampak sedikit terkejut, antara protes kenapa anaknya di bawa atau karena pemberitahuan yang mendadak. Tapi pada akhirnya ia hanya bilang "Ya udah..". Percuma juga tidak mengizinkan, ia tahu istrinya punya argumen yang lebih kuat kenapa Yaya harus ikut. Wkwkwk....

*** 

Rabu, 04.00 WIB

Berangkat sepagi ini menuju bandara sudah hal yang biasa bagi saya. Bahkan security komplek pun sudah khatam sepertinya, jika mobil mini ini keluar dini hari, pasti si Bapack sedang mengantar si ibu yang hendak terbang entah ke Indonesia sebelah mana. I really enjoy it meskipun pada saat landing pasti jet lag parah karena kurang tidur. 

Namun, yang istimewa kali ini saya tidak pergi sendirian, tapi di temani si anak remaja. Meskipun nanti duduknya beda pesawat... 

Inilah moment saya kembali dihantui perasaan tidak tenang. Bukan hanya soal Yaya yang akan sendirian di ruang tunggu, tapi perasaan bersalah terhadap suami. Saya tidak berbohong. Hanya saja tidak menyampaikan seluruh informasinya. Saya bilang Yaya ikut ke Bali, hanya saja tidak bilang kalau beda pesawat. 

Beberapa kali pikiran buruk terlintas, seperti setan yang selalu berbisik akan hal-hal buruk. Kita tahu, jalur udara risiko nya sangat besar. Saat bepergian seorang diri saya tidak terlalu memikirkan ini, rasanya bisa memasrahkan diri pada yang maha Kuasa. Namun kali ini, ada nyawa lain yang saya bawa tapi jauh dari pengawasan, rsanya semakin susah mengusir pikiran-pikiran buruk itu. 

Bagaimana jika..bagaimana jika.... 

Pertanyaan kemungkinan itu berkeliaran di kepala sepanjang perjalanan menuju Soekarno Hatta. 

Pukul 04.40 WIB, kami tiba di terminal 1A - Air Asia domestik. Saya akan mengantarkan Yaya dulu sampai dia masuk terminal, baru kemudian mencari taksi untuk pindah ke terminal 2, tempat keberangkatan Suoer Air Jet. Untungnya tadi kita berangkat lebih awal, sehingga saya tidak terlalu terburu-buru berpindah terminal.

Saat mengantar Yaya sampai di pintu keberangkatan, saya kembali memberinya arahan. "Nanti liat no gate nya ya, kalau kaka ragu bisa tanya petugas. Kasih liat aja boarding pass nya, nanti diarahkan. KTP jangan hilang... nanti saat di ruang tunggu, jangan ketiduran, dengerin pengumumannya...bla..bla..."

Seorang petugas yang berdiri tidak jauh dari pintu, yang memperhatikan kami akhirnya nimbrung. "Bu, diantar aja sampai atas," ujarnya mempersilakan saya masuk. Wkwkwk...mungkin dia pusing liat emak-emak kasih wejangan soal ruang tunggu. 


Alhamdulillah...bisa antar sampai sini berkat petugas baik hati




***

Saya tiba di terminal 2 sekitar 15 menit sebelum boarding. Kebetulan last minute dot com, flight saya yang harusnya boarding pukul 06.00 WIB mundur 30 menit. Yang artinya, yaya akan tiba 30 menit lebih awal dari saya. 

"Kakak, mama terlambat berangkat 30 menit. Nanti kaka sampai duluan, cari tempat buat tunggu yang nyaman aja ya, nanti mama susul ke sana," saya mengetik pesan WA. Yaya menjawab dengan Ok. Tak lama kemudian, dia mengabari kalau sudah di dalam pesawat. Ffuhh.... setidaknya, satu kekhawatiran saya pupus, Yaya tidak ketinggalan pesawat :P 

Sambil menunggu keberangkatan, dan juga Rizki yang belum kunjung muncul, saya mencolek Gna, bestie  yang bukan hanya tempat berkeluh kesah. Tapi lebih sebagai kuncen dari semua aib dan dosa-dosa saya wkwkwk... 

Saya membuka obrolan lewat DM IG - hal yang kerap saya lakukan bila saya merasa salah ... :(

"Nye, gw ke Bali pagi ini. Yaya ikut" saya mengawali. Tak berapa lama saya lihat notifikasi is typing..

"Tumben Yaya ikut? eh udah libur ya? good, sekalian liburan.." balasnya. 

"Hmm... iya.." saya membalas. Bingung bagaimana melanjutkannya.

"Oke, kasih tau sejujurnya lu abis ngelakuin dosa apa?" Yup.. she's like half of my life. It seems I can't hide..

Selanjutnya saya mengetik ceritanya... 

"Menurut lo, gw harus bilang sekarang apa enggak?" saya bertanya. Pertanyaan yang tidak perlu sih, karena saya sudah tahu pasti jawabannya. Di saat seperti ini, dia pasti akan memilih jawaban yang membuat saya lebih tenang. 

"Nggak usah, nanti aja. Toh Yaya udah boarding juga kan, yang penting dia udah naik pesawat yang benar, kan nanti juga ketemu pas di Bali," ketiknya. 

"Ntar lu beliin aja laki ku oleh-oleh kacang Bali, kalau lu merasa berdosa nyahahhaha...

Wkkwkwkw....kadang saya merasa sungguh beruntung punya teman yang sangat pengertian seperti ini wkwkwk...

Sedikit melanjutkan obrolan random, saya pamit karena sudah harus naik pesawat. Rizki sendiri baru tiba pada saat saya sudah duduk manis dipinggir jendela. Ckckck.... untung nggak ketinggalan pesawat .. Saya memasang sabuk lalu melanjutkan tidur. 

***

Mendarat di Ngurah Rai, Bali, yang saya lakukan pertama kali adalah mengganti mode pesawat dan mengecek kabar dari Yaya. Benar saja, dia mendarat 30 menit sebelumnya. 

"Kakak di Kopi Kenangan. Ada Periplus dekat baggaige claim, mau buku ini, boleh nggak?" 

Saya membaca chatnya, yang disertai gambar satu buku yang dia mau. Ckckc...sempat-sempatnya dia window shopping :p 

Saya mendorong koper, Rizky menjejeri langkah saya. Begitu melihat toko buku yang dimaksud, saya mengajak Rizky mampir sebentar. Saya mencari buku yang dimaksud, lalu membayar di kasir. Rizki sepertinya pun masih jetlag, dia bahkan tidak berkomentar saat diajak mampir ke Periplus. Padahal biasanya bawelnya minta ampun. 

Begitu sampai di pintu keluar, saya celingukan mencari store Kopi Kenangan. Saya bertanya ke satu petugas, dan ia menunjukkan arah. 

"Lu mau beli kopi dulu mba? nggak sekalian di luar aja sambil sarapan?" Rizki akhirnya bertanya. Ia sepertinya juga mulai heran, karena tidak biasanya saya mencari sarapan di dalam bandara. Biasanya, saya lebih suka mencari sarapan melokal di luar bandara. 

"Iya, kita sarapan diluar aja. Jemput Yaya dulu ke Kopken," jawab saya singkat. 

"Hah? jemput siapa?" ia kaget. Sayangnya, Rizki satu langkah di belakang, saya hanya bisa mendengar suaranya yang kaget. Pasti kalau dia di samping, wajah kagetnya akan lebih lucu. 

"Jemput Yaya, dia uah sampai duluan tadi pakai Air Asia," saya menjawab seadanya, tanpa menjelaskan. 

"Hah? kok bisa? Yaya ikut? kenapa bisa duluan?" 

Wkwkw...Rizki masih mengejar saya dengan rentetan pertanyaan. Saya tahu dia sedang berjuang antara jet lag dan memahami apa yang sedang terjadi. Saya memilih tidak menjawab dan fokus menemukan gerai kopi kekinian tersebut. Tak berapa lama, saya menemukan Yaya duduk sambil membaca buku, di hadapannya ada cup berisi americano yang sudah hampir habis. Ckckck....remaja oh remaja jaman now..

Oh ya, sedikit klarifikasi, di atas saya bilang tim yang bertugas di Bali adalah saya, Rizky dan Cahrly, tapi di sini saya hanya menyebut Rizky. Yak, karena Charly tidak terbiasa dengan jam sepagi itu,  katanya daripada terlambat lebih baik berangkat siang.

Dalam perjalanan menuju Ungasan, saya menceritakan mengenai Yaya yang tiba-tiba sampai duluan di Bali kepada Rizky. Dan Rizky hanya bisa bilang "Gw nggak ngerti jalan pikiran lo Mbak, cuma yaa.,.. lu gila sih hahaha...nekat banget," 

No, gw nggak nekat. Pada saat lu nanti jadi orang tua, lu akan mengerti...


Oh ya, begitu bertemu Yaya, tak lupa mengetik pesan singkat ke Gna. "Nye, we landed safely, gw udah sama Yaya,".

"Good. Enjoy ur time," dia membalas. 

Selanjutnya adalah menyelesaikan tugas negara. Pfuhhh.... 

Btw, tidak penting apa yang mamak lakukan. Mari kita lihat apa yang dilakukan Yaya selama 24 jam di Bali. 

1. Brunch ditemani mobil mewah di Nexx Cafe

Ini seharusnya nggak ada dalam list nya Yaya. Hanya saja karena tiba-tiba Rizky harus bertemu salah satu kolega di Bali, jadilah kita sekalian brunch. Tapi mungkin karena Yaya sudah sarapan saat menunggu di Bandara, jadinya saat kita meeting di sini, dia hanya minum jus sambil melihat-lihat koleksi mobil mewah yang terparkir di dalam restaurant. 




Yup, tempat ini, Nexx Cafe adalah restaurant yang berada di dalam showroom mobil mewah dan antik. Tempat ini jadi pilihan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan urusan mereka. Well, mungkin karena saya bukan penyuka otomotif ya, jadi kesan saya terhadap tempat ini biasa saja. 

2. Spa

Nah, ini memang ada dalam urutan ter atas To Do List nya Yaya selama di Bali. Mencoba spa di Bali. Bahkan dia sudah bikin janji dengan salah satu Spa yang dekat dengan hotel tempat kita menginap, untuk paket perawatan full body pukul 16.30 sore. Ckckckc.....

Habis Ashar saya bersiap berangkat ke seminar, dia juga sudah bersiap menuju Spa yang cukup jalan kaki 200 meter dari hotel. 

3. Bersantai di Rooftop

Sebelum magrib, Yaya mengabari kalau dia sudah selesai dan sudah kembali ke kamar. Saya bilang baru akan kembali ke hotel jam 9 malam, dan meminta Yaya order go food atau pesan makan malam dari hotel. Dia memilih go food. 

Tak lama, Yaya mengirim foto go food nya sudah sampai dan makan di rooftop hotel sambil belajar. Ckckc... 

4. Lari Pagi di Ungasan

Pagi setelah sarapan, saya sudah bersiap untuk kembali ke Seminar hari ke dua. Yaya sejak pagi juga sudah siap dengan celana training dan jaket UV nya, kemudian lari pagi sekitar Jl Ungasan. Saya cuma berpesan untuk hati-hati dengan anjing liar. 

5. Canvassing di Legian

Seminar hari ke 2 ternyata selesai lebih cepat. Di Jadwal seharusnya baru selesai sore ternyata sebelum makan siang sudah bubar. Akhirnya kita ada tambahan waktu untuk sejenak menikmati Bali. Tapi bukan kita namanya kalau cuma sekedar bersantai-santai, ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini, termasuk Canvassing. 

Canvassing adalah salah satu metode mengumpulkan informasi berupa opini dari masyarakat tentang satu isu. Check out dari Ungasan, kami menuju kawasan Legian - salah satu pusat keramaian. Tentu saja, ini cara paling gampang mendapatkan masyarakat yang mau dimintai pendapat tentang satu isu. 

Sembari Charly sibuk mencari narasumber sasarannya, saya dan Yaya berjalan-jalan menyusuri Legian, beli beberapa gelang di pasar seni Legian. Setelahnya saya menyusul Charly dan Rizky yang sudah lebih dulu jalan mengarah ke pantai Legian

6. Sunset di Legian




Masih sekitar pukul 17.00, sementara keberangkatan menuju Jakarta masih pukul 9 malam. Kami memutuskan rehat sambil menunggu sunset di pantai Legian. Setelah menemukan tempat untuk bersantai, saya dan Rizki memesan mineral dingin. Sementara Charli masih sibuk mencari tambahan target canvassingnya. Dan Yaya segera melepas sepatu lalu berjalan-jalan di pinggir pantai. 

Sekitar pukul 18.30, kami beranjak dari Legian menuju bandara Ngurah Rai. Tapi sebelumnya, mampir dulu buat makan malam di seafood pinggir jalan. 








Komentar

Postingan Populer