Dari Maros Hingga Pare Pare

Ubur-ubur ikan lele, tugas di Kendari extendnya di Pare-Pare...




Yang sering tugas ke luar kota pasti familiar dengan istilah 'extend' alias nambah 1-2 hari di luar masa tugas. Biasanya ini dibolehkan bila masa tugas selesai di hari Jum'at, kita bisa extend buat liburan pas weekendnya. Eh tapi ini nggak mutlak ya, tergantung kebijakan kantornya masing-masing. 

Biasanya, extend itu cuma pindah hotel, atau paling nggak pindah spot wisata doang. Tapi saya, pernah dapat kesempatan extend beda propinsi hahaha.... extend terniat sih itu :p

Jadi ini terjadi karena ditinggal sendirian di Kendari. Akhirnya malah ngayap lintas propinsi. Ini seandainya mama tau ceritanya, pasti belio akan bilang "Nah kaann...dibilangin, anak saya itu jangan dibiarin lepas dari pengawasan :D"

Di tengah-tengah tugas pengumpulan data  di Kendari, pada Maret 2018 yang lalu itu, Mba Tina, rekan satu tim yang mendampingi ke Kendari mendapat berita duka. Orang tuanya meninggal. Tidak ada pilihan lain, mba Tina harus kembali lebih awal, dan saya tetap di Kendari menyelesaikan tugas yang masih harus dirampungkan dalam 1-2 hari lagi. Beruntung, ada Wayan, teman media di Kendari yang akhirnya menjadi teman ngebolang di Kota Lulo tersebut. 

Sampai akhirnya tugas rampung, Wayan mengantar saya ke bandara bersama 2 dus berkas yang harus saya bawa ke Jakarta. Berangkat bertiga, kali ini saya pulang sambil mengurus logistik sendirian. Beruntung ada Wayan yang membantu saya hingga proses bagasi. 

---

Dari Kendari, saya harus kembali lagi ke Makassar, karena harus lapor lagi ke mitra yang ada di Makassar, sekaligus mengurus sejumlah dokumen yang harus di tanda tangan. Setelahnya, baru bisa kembali ke Jakarta. 

Tapi sebelumnya, saya harus singggah dulu di Maros, kota Kabupaten yang terletak di bagian barat Sulawesi Selatan. Saat berada di Kendari, Kak Najmi, rekan media yang di Makassar mengabari ada temuan balita gizi buruk dan lagi-lagi karena kesalahan asupan makanan. Bayi usia 12 bulan tersebut kemudian di bawa ke RS Maros. 

Dalam situasi seperti ini, tentu saja keputusan harus diambil segera. Jadilah kami segera mengatur agenda kerja. Jarak dari bandara Sultan Hasanudin ke Maros 10 kilo saja, jadi sesampai saya di bandara, Kak Najmi juga sudah menanti dan kita segera bergerak menuju Maros. 

Sesampai di RS Maros, sudah ada beberapa media lagi menanti, ada TV lokal dan juga kontributor TVRI. Targetnya adalah ibu dari balita yang gizi buruk dan juga dokter. Kami berusaha menembus narasumber, semula lewat jalur resmi, menghubungi humas. Tapi kala itu,  humas-humas institusi masih terlalu sensi dengan kerja-kerja media. Jelas mereka tidak membiarkan media masuk. 

Bukan wartawan namanya kalau kehabisan akal. Dengan sedikit trik, akhirnya kami bisa masuk ke ruang rawat dan bertemu keluarga bayi. Secepat kilat rekan media mengambil gambar, dan kami berbagi peran. Ada yang jaga di depan pintu, ada yang ngobrol dengan keluarg, ada yang ngambil footage dan ada juga yang mengorek informasi dari dokter jaga. Alhamdulillah.. all is well, semua tugas berjalan smooth. 


Keliatan gemuk ya, tapi bayi ini gizi buruk. Gemuk belum tentu sehat 

Kak Najmi berhasil wawancara dokter :) 

Mungkin ada yang bertanya, kenapa sih RS tidak mengizinkan kasus-kasus gizi buruk dan stunting ini diliput media? 

Jawabannya sederhana, gizi buruk dan stunting sudah menjadi stigma, bahwa daerah tersebut miskin dan parahnya lagi, kasus gizi buruk artinya aparat terutama dinas kesehatan tidak becus mengurus daerahnya. Alih-alih memperbaiki, keseringan mereka malah menutupi. Gizi buruk adalah aib. Kepala dinas bisa saja dipanggil gubernur, ditegur dan parahnya mutasi sebagai hukuman. Padahal semestinya, temuan gizi buruk ataupun stunting seharusnya menjadi laporan yang ditindaklanjuti dengan menyegerakan intervensi makanan bergizi bagi masyarakat. Jadi paham kan sekarang?

Sempat mampir ke kantor AJI di Kab maros,  ngubek-ngubek kliping koran kasus gizi buruk di Makassar

Merayakan keberhasilan menembus brikade rumah sakit, Kak Najmi dan teman-teman media mengajak saya ke Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul). Perjalanan sekitar 1 jam dengan pemandangan yang indah. Begitu mulai memasukin kawasan TN Babul, saya menurunkan kaca jendela, menikmati hembusan angin dingin dan sedikit berembun. Di hadapan kami, kabut mulai turun. 


kerja beres, gasss kita eksplor Maros. Ngeeengggg....


Sebagai kawasan konservasi, TN Babul memegang peranan penting dalam keseimbangan ekosistem. Kawasan ini juga menjadi surga bagi pencinta kupu-kupu, karena TN Babul sekaligus menjadi sanctuary atau konservsi ratusan spesies kupu-kupu. Tak heran, TN Babul juga di kenal sebagai Kingdom of Butterfly. 

Jika dilihat dari sejarahnya, kawasan ini bermula dari Alfred Russel Wallace, ahli antropologi Inggris dan juga penemu teori seleksi alam,  yang melalukan eksplorasi di Bantimurung pada periode Juli - Oktober 1857. Ia mempublikasikan hasil penelitiannya The Malay Archipelago. Setelah itu, banyak peneliti yang tertarik mengeksplorasi Bantimurung. 

Butterfly


Ada satu moment yang mungkin saya hanya akan alami di sini. Saat berjalan-jalan di jalan setapak kawasan TN Babul, saya terpesona melihat dedaunan berwarna warni, seperti tersusun dengan pola yang indah di satu aliran air. Saya menunduk hendak meraihnya, tiba-tiba daun-daun yang tadi berserakan tersebut mengepakkan sayap, lalu terbang. Ya, ternyata mereka bukan daun yang berguguran, tapi kupu-kupu. Ya allah...indah banget mahklukMu. 

Di sini, Kak Najmi juga mengajak saya naik ke Helena Sky Bridge aluas jembatan gantung. Saya penasaran, kenapa namanya Helena? seperti nama noni noni Belanda :D . 
Tapi belakangan, dari hasil riset google saya tau, nama Helena diambil dari nama salah satu spesise kupu-kupu yang dilindungi dan dikembang biakkan di penanggaran ini, yaitu Toides Helena. 

Helena Sky Brigdge membentang sepanjang 52 meter di atas dome raksasa yang berfungsi sebagai tempat penangkaran kupu-kupu. Untuk bisa naik ke sini, kita harus memanjat menara terlebih dahulu, lumayan ngos ngios an hehehe. Tapiiii itu semua terbayar berkat pemandangannya yang indah dan udaranya yang segar. Enak banget deh napas di sini hahaha...



Nangkring di ketinggian 20 meter 

Puas mengeksplor Maros, saya kembali ke Makassar, masih ada yang perlu di urus bersama LSM mitra. Setidaknya, hasil survey dan temuan di Kendari harus dibahas terlebih dahulu, review data awal, temuan-temuan menarik dan lain sebagainya. Saya menghubungi kantor LSM dan membuat janji untuk rapat koordinasi keesokan pagi. Sementara malam ini, saya ingin istirahat. Baru kerasa lelahnya. 

Makassar di guyur hujan begitu saya memasuki kawasan kota. Oh ya, saya baru mencari hotel dalam perjalanan dari Maros, dan memilih Pod House, salah satu hotel kapsul di sekitar pantai Losari Makassar. Ini pertama kalinya saya menginap di  hotel jenis ini. Berhubung saya mendadak jadi 'solo trip' , jadinya lebih baik pilih hotel satuan seperti ini. Rasanya, jika booking hotel reguler, sendirian di kamar bakalan terasa banget sepinya :( 




--- 

Entah karena terlalu lelah, atau memang Pod House yang memang senyaman itu, saya bangun terlambat keesokan paginya. Jam 8 baru bangun euy. Untungnya lagi dapat jatah, jadi tdiak terlalu merasa bersalah meski waktu subuh terlewatkan hahahha...

Tapi serius, ini hotel nyaman banget, sayang nggak ada liftnya aja :p 

Saya segera beberes dan pesan ojol menuju kantor LSM untuk menuntaskan tugas. Tak perlu waktu lama, urusan saya selesai dalam waktu 2-3 jam. 

Seharusnya, masih ada kesempatan untuk saya check out tiket kembali ke Jakarta dengan penerbangan sore . Tapi, yang akhirnya terjadi adalah saya malah booking travel dengan tujuan  Pare-Pare, sebuah kota yang berjarak 3 jam perjalanan dari Makassar. Lagi-lagi... keputusan mendadak disaat injury time :p 

Bagi sebagian orang, mungkin terdengar aneh. Hah..ngapain ke Pare Pare? 

Semula, saya ingin mengunjungi Tana Toraja, daerah yang sudah sejak lama ada di whistlist. Hanya saja,  saat ngobrol-ngobrol degan teman di LSM mitra, mereka melarang saya ke Toraja bila sendirian. Lagipula, jarak Makassar - Toraja sekitar 12 jam, bukan pilihan yang bagus bila saya hanya punya waktu 2 hari. 

Untung tidak dapat ditolak, di saat sedang berjibaku dengan rencana, tiba-tiba seorang kawan yang memang asli Makassar menghubungi. Dia melihat postingan sosmed saya beberapa hari yang lalu saat sedang makan konro di Makassar. 

Kami lalu berbincang di telepon. Pastinya, dia awali dengan ngomel, kenapa saya ke Makassar tidak bilang-bilang. Dengan sedikit menyesal saya jelaskan karena perjalanan kali ini adalah tugas dan agendanya tidak bisa dipastikan dari jauh-jauh hari. Semua tergantung sikon. Sejujurnya, saya juga lupa punya kenalan di Makassar. 

"Coba kamu dari awal bilang, saya tunggu di Makassar. Baru aja saya balik ke Pare Pare kemarin sore," ujarnya ngedumel. 

"Oh kamu sekarang di Pare Pare? di mana itu?" nah.... saya seperti menemukan arah :p 

Singkat kata, sore itu juga dia mencarikan saya travel agent menuju Pare Pare. Sementara dokumen-dokumen yang tadinya harus saya bawa ke Jakarta, dengan dibantu Udin dari LSM, akhirnya saya paketkan pulang. Dokumennya saja pulang duluan, pemiliknya belakangan :p 

Sejak bertolak dari Makassar sekitar pukul 15.00, hujan tidak berhenti. Saya yang tadinya ingin menikmati pemandangan akhirnya tertidur sepanjang perjalanan. Di luar gelap, dan tetesan air di jendala mobil menghalangi pandangan. Jadi, tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang perjalanan sore itu. 

Saya benar-benar baru bangun begitu mobil travel yang saya tumpangi berhenti di alun-alun kota Pare Pare. Lebih tepatnya di bangunkan oleh driver. Dan saya penumpang terkahir ternyata. 

"Sudah ada yang jemputkah? sudah gelap ini," tanya driver paruh baya dengan logat Bugis yang khas. 

Saya melihat sekeliling, antara setengah nyawa belum nyambung karena baru bangun tidur, dan menyesuaikan dengan suasana baru yang sangat tidak familiar. Di tengah proses loading itulah ada yang melambai-lambaikan tangan di depan saya. Nah, itu dia, Calu teman yang membuat saya akhirnya menginjak Pare Pare. 

"Sudah daeng, teman saya jemput," jawab saya lega. Driver baik hati itu membantu membawakan ransel saya sampai memasukkannya ke dalam bagasi mobil Calu yang oarkir tidak jauh dari sana. Ah.. baik sekali. Senang rasanya disaat-saat seperti ini, di negeri orang, tapi bisa bertemu dengan orang-orang baik. 

Segera setelah saya masuk, tanpa babibu Calu segera tancap gas. Tak lama ia berhenti di sebuah rumah dipinggir jalan. Saya mulai heran. 

"Ini rumah kamu?" saya bertanya ragu.

"Makan dulu, kamu pasti belum makan," ujarnya santai. Saya hanya terkekeh. Kenapa punay teman selalu tau kalau saya belum makan? wkwkwkw

"Nasi goreng di sini enak, kamu pasti suka," ujarnya. 

Saya lupa nama warungnya, tapi sekilas tidak terlihat seperti warung makan karena bentuknya yang seperti rumah lama. Begitu masuk ke dalam, juga tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya keluarga sedang makan malam. Saya dan Calu memilih duduk di pojok dekat jendela kayu, sambil menikmati semilir angin malam. Sambil menunggu sepiring nasi goreng merah di buatkan, barulah dia menginterogasi saya. 

Saya lagi-lagi menjelaskan dengan singkat perjalanan Makassar - Kendari - Makassar tersebut, dan lagi-lagi alasan kenapa tidak memberi kabar. 

"Tadinya sudah mau ke Toraja, eh kamu nongol, nggak jadi deh ke Toraja," ujar saya iseng. 

"Yaa suruh siapa nggak ngabarin, coba kalau ngabarin kan bisa ditungguin," ujarnya membalas. 

"Eh tapi sampai sini juga kamu sudah setengah perjalanan ke Toraja kok," ujarnya lagi. Menghibur. 

Nah..barulah disini pikiran saya mulai terbuka, mengenai posisi Pare Pare - Toraja. Pare Pare ternyata bukan sekedar kota, tapi ini adalah titik yang menghubungkan sejumlah kota penting lainnya di Sulawesi Selatan, termasuk Tana Toraja. Artinya, bila ingin ke Toraja, pasti melewati Pare Pare. 

Entah nasi goreng yang memang lezat, atau secuplik pengetahuan baru tentang Pare Pare sebagai kota penghubung menuju Toraja, yang pasti mata saya mendadak melek. Tidak ada lagi kantuk dan jetlag uang tersisa. Semalaman itu, di warung nasik goreng pinggir jalan,  saya asyik mendengarkan Calu bercerita tentang kota kelahirannya, dan juga kota kelahiran B.J Habibie. 

Pare Pare berada di kawasan Selat Makassar, yang menjadikannya kota penting dalam lalu lintas transportasi dan perdagangan laut dari Jawa, Makassar, Kalimantan, Kepulauan Maluku dan bagian utara dari Nusantara. Menariknya, selain kota yang tumbuh di garis pantai, wilayahnya sendiri berbukit-bukit. Kontur ini jelas menghasilkan pemandangan yang indah, sekaligus magis. Bayangkan, kita berada di atas bukit, dan dikejauhan terlihat laut lepas dengan jelasnya. Belum lagi atap rumah-rumah diselingi hijau dari  pohon dan hutan kota yang masih banyak. Rasnaya sulit menemukan pembanding kota kecil nan cantik ini. 

Semakin malam, warung nasi goreng sudah menunjukkan tanda-tanda hendak tutup. Kami pun segera beranjak. Sebelum mengantar saya ke penginapan, Calu membawa saya berkeliling kota menyusuri garis pantai. Saat itulah saya melihat bayangan besar di selingi lampu yang bekelap kelip, dan disertai suara terompet besar. Kaget, baru kali itu mengalami. 

"Ohh..lagi ada kapal pesiar sandar," jelas Calu enteng. 

Hah?? kapal pesiar? sumpah ini hal yang langka bagi anak yang sehari-harinya hanya ketemu angkot dan metromini ini. 

"Mau lihat? bisa nih kayaknya, aku ada teman di dalam," ujarnya santai, lalu berbelok masuk ke parkiran dermaga. 

Saya sungguh tidak tahu lagi harus bilang apa. Rasanya ingin loncat-loncat saking senangnya. Cuma untungnya bisa jaga image, tetap tenang dan cool biar nggak keliatan norak. Padahal aslinya sudah jumpalitan. 

Saya menunggu Calu bicara dengan temannya di loket administrasi dermaga. Sesaat kemudian dia membawa satu nametage. Hahaha.... beginilah kalau kita jalan dengan akamsi (anak kampung sini), kenalannya banyak. Mau apa aja bisa dibicarakan hahahaha...

Singkat cerita, saya berhasil masuk ke dermaga, sedekat itu dengan kapan Europa 2 yang sedang sandar. Kabarnya, kapal megah itu bertolak dari Belanda, mengangkut ratusan pasangan oma - opa yang sedang menghabiskan tabungan hari tuanya :) 

Puas wara wiri di dermaga, saya akhirnya ke penginapan. Entah jam berapa, saya tidak ingat. Sepertinya sudah sangat larut. Calu bilang, besok dia mau ajak saya lihat sesuatu yang menarik. Saya iya-iya saja. 

Keesokan paginya, Calu sudah menyeret saya keluar hotel. Nyari sarapan katanya. Dengan mata masih belekan, saya melirik jam, masih setengah 8. Oh shitt..ini anak ternyata mowning person :( 

Apesnya, tidak saya tidak punya cara untuk mengelak. 

Lagi-lagi, kita berhenti di warung pinggir jalan. Tapi kali ini, saya bisa melihat pantai,  lautan dan langit biru. Lagi-lagi saya tidak ingat nama warungnya, tapi yang pasti enaknya juara. Karena termasuk salah satu warung legend di sana. 

Di sini pula saya berkenalan dengan buras, sejenis lontong pipih yang dibungkus daun. Tapi rasanya lebih gurih dan lontong yang biasa saya makan. Hmm... sejak saat itu, jika ke warung coto di Jakarta, saya selalu mencari buras. 

Selesai menikmati sarapan, calu mengarahkan mobil menanjak perbukitan, menyusuri jalan di lereng bukit. Lagi-lagi saya berdecak kagum, sungguh indah. Tapi, yang lebih menarik adalah, diantara lereng dan perbukitan tersbeut,  terlihat sejumlah tiang putih berjajar dengan baling-baling yang berputar.  Ada kincir angin!!. wohaaa.... belakangan, hasil search di Google, kincir angin tersebut adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap. 




PLTB Sidrap ini ternyata saat itu sedang d tahap uji coba. Dalam rilis Kementerian ESDM yang saya temukan kemudian, PLTB ini secara resmi mulai beroperasi pada 5 April 2018. Tak hanya sekadar infrastruktur energi, tapi ini adalah simbol kemajuan energi terbarukan di negeri ini. Kabarnya, PLTB komersil ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap rasio elektrifikasi di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat.

PLTB Sidrap memiliki kapasitas 75 MW dengan 30 turbin, masing-masing berkapasitas 2,5 MW. Turbin angin dipasang pada menara baja setinggi 80 meter dengan panjang bilah turbin 57 meter. PLTB Sidrap mampu melayani lebih dari 70.000 pelanggan listrik dengan daya 900 VA. 

Ada satu tempat lagi yang saya singgahi sebelum kembali ke Makassar, pasar senggol. Kawasan ini terkenal dengan thrifting barang impor. Warga setempat menyebutkanya pasar pakaian cakar (cap karung).  

Saya tidak ada niat berbelanja, masuk ke lokasi pasar hanya untuk melihat-lihat. Tapi apalah daya, meskipun tidak ada niat, tapi bila mata melihat, maka yang terjadi terjadilah. Alhasil, saya pulang membawa 3 pasang sepatu wkwwkwk...

Jelang sore, Calu kembali mengantar saya ke loket travel menuju Makassar. Tapi kali ini, tujuannya langsung ke Bandara Sultan Hasanuddin, masih ada pesawat malam untuk saya kembali ke Jakarta. 

Saya pamit. Setelah menjabat tangannya, saya bilang dalam waktu dekat saya akan kembali ke sini, Toraja masih memanggil. 

Dia hanya tertawa. "Oke, ditunggu" ujarnya. 


Maret, 2018


Komentar

Postingan Populer