Kendari
Awal Maret 2018, sebuah keputusan di ruang meeting membuat saya tertegun lama. Kendari, kosakata itu berputar-putar di kepala, berusaha membayangkan seperti apakah kira-kira?
"Sepakat ya, kita akan turun langsung penggalian data di masyarakat. Mulai dari Kendari. Nila silakan berkoordinasi dengan Surya, untuk dibantu akomodasinya," demikianlah kira-kira keputusan rapat siang itu.
---
Isu nasional: stunting, menjadi pintu masuk saya dapat mewujudkan cita-cita di masa kecil: keliling Indonesia. Di awal 2017, ada satu kesempatan yang membuat saya terlibat membantu edukasi dan kampanye gizi untuk mencegah stunting. Saya tergabung dengan tim kecil, hanya 5 orang saja, memulai kerja dengan konsep, mengembangkan program dan kegiatan, kemitraan dan advokasi hingga relasi media dan publikasi. Targetnya, membangun awareness publik akan stunting.
Semula, yang ada dikepala saya , ini sekedar project. Negara punya KPI, kita dapat project, buat laporan. Selesai. Bahwa angka-angka dan persentase yang menjadi pembuka narasi stunting di media hanyalah 'kepentingan politik' semata.
Hal yang tidak pernah terbayangkan, seiring berjalannya waktu, menjalani satu kunjungan rumah ke kunjungan rumah lainnya di berbagai daerah, 'prevalensi stunting' yang semula saya pikir sekedar kepentingan politik, ternyata benar adanya. Stunting seperti gunung es. Ada puncaknya terlihat, tapi akar masalahnya ternyata lebih besar. Hari-hari berikutnya, angka-angka keramat itu berputar-putar di kepala: 30%, 27,5 %, 20%... dst. Angka-angka yang menjadi target penurunan stunting.
---
Kembali ke meja meeting yang hanya di penuhi oleh 5 orang yang terus berkutat dengan dokumen-dokumen. Saya dan Mba Tina, seorang peneliti senior yang jadi andalan untuk mengolah data yang ditugaskan untuk misi pertama ini. Jangan berharap saya yang mengolah data, 5 menit saja sudah menyerah pastinya hahahah...
Kendari di Sulawesi Tenggara, menjadi wilayah pertama yang di sasar mengingat dalam beberapa bulan terakhir ada beberapa kejadian stunting, satu diantaranya meninggal. Penyebabnya adalah kesalahan konsumsi. Cara-cara seperti ini bisa jadi semacam 'hack' untuk menjawab pertanyaan : harus mulai dari mana?
Beberapa hari kemudian, saya berangkat menuju Makassar, Sulawesi Selatan, berdua dengan mba Tina. Ya, kami harus transit dulu sekitar 2 hari di Makassar, untuk berkoordinasi dengan satu NGO yang akan menjadi mitra kerja nantinya di Kendari. Ini salah satu TDL wajib dalam kerja-kerja pengumpulan data seperti ini. Untuk masuk ke satu wilayah, kita juga harus melibatkan masyarakat lokal setempat.
![]() |
Mendarat di Makassar, langsung menuju kantor mitra di Jl Anggrek. Langsung kerja euyyy :p |
![]() |
Disuguhin hidangan lokal makasar, ada barongko dan sanggara balanda. Paling suka dengan Sanggara Balanda, pisang yang dikasih selai kacang, manis dan legit |
![]() |
Meet up dulu dengan teman media dari Sindo Makassar. Agenda wajib tiap tugas ke daerah, dan akhirnya jadi kebiasaan |
Dua hari di Makassar dengan koordinasi ini itu, membuat saya tidak bisa sepenuhnya menikmati Makassar. Sekalinya ada waktu luang, Udin, mitra dari Makassar mengajak makan konro di salah satu resto di dekat pantai Losari. Hanya makan dipinggir pantai, tanpa sempat meginjak pantainya :)
![]() |
resto konro di pinggir pantai. Cantik |
Selesai urusan di Makassar, kami melanjutkan perjalanan menuju Kendari, bertiga dengan tambahan Udin dari Makassar. Sesampai di Kendari, kami ketambahan 1 orang teman lagi yang akan bergabung dalam penelusuran kasus, kali ini dari kalangan media. Namanya Wayan, saya memanggilnya Bli, sapaan kakak untuk orang Bali.
![]() |
Flight pagi ke Kendari. Bertiga lari-larian di bandara Sultan Hasanuddin Makassar, karena telat sampai bandara wkwkwkw |
Kendari, kota kecil yang tidak begitu sepi. Jalanan lebar-lebar yang hanya sesekali dilalui kendaraan. Hari pertama di Kendari, Wayan mengajak saya city tour, mulai dari MTQ yang menjadi landmark kota Kendari, hingga mesjid terapung Al Alam yang saat itu baru saja di resmikan.
![]() |
Alhamdulillah, landing dengan selamat di Kendari. Masih pagi tapi sudah seterik ini |
![]() |
Bandara Halu Oleo, 2018 masih sekecil ini |
---
Untuk menyelesaikan tugas di Kendari, kami bagi menjadi dua tim. Mba Tina dan Udin untuk urusan survey dan penelitian di kota Kendari, sementara saya dan Wayan bergerak menuju Kabupaten Konawe, berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari pusat kota Kendari.
![]() |
Mampir dulu ke redaksi media Zonasultra. Ninggalin jejak |
![]() |
Ngopi dengan teman-teman media Kendari. Kalau bahasa corporatenya: advokasi media |
![]() |
Gen di atas gw, tapi hobinya ikut gen di bawah gw. Mau makan bukannya doa malah foto-foto :p |
Sejatinya, Konawe dikenal sebagai lumbung beras di Sulawesi Tenggara. Separuh produksi beras dari Suwalesi Tenggara berasal dari kabupaten ini. Tapi sebagaimana tantangan sektor pertanian di Indonesia, kalau bukan lahan yang perlahan-lahan beralih fungsi, maka SDM nya yang berubah haluan. Kedua gejala tersbeut juga terjadi di Konawe. Masyarakat yang lebih suka meninggalkan desanya untuk bekerja serabutan di kota atau mencari peluang di smelter Nikel yang baru saja di bangun.
![]() |
Blusukan di Konawe, nyari Bidan Ulfa. Rumah kayu seperti itu, hunian penduduk setempat , pemandangan lumrah di sepanjang jalan |
Di Konawe, Wayan menemani saya blusukan kami mencari keberadaan bidan Ulfa, tenaga kesehatan yang menangani kasus bayi yang meninggal karena stunting tersebut. Berbekal sedikit informasi dari media dan rekan wartawan lain yang telah lebih dulu menelusuri kasus tersebut, kami berakhir di Puskesmas kec. Pondidaha. Di situlah, saya akhirnya bertatap muka dengan bidan Ulfa. Ia baru turun dari Ambulans yang membawa seorang ibu hamil yang butuh penanganan medis.
Sembari menunggu bidan Ulfa menyelesaikan tugasnya, saya berkeliling melihat lingkungan sekitar Puskesmas. Satu-satunya layanan kesehatan masyarakat itu berlokasi di pinggir jalan, dan dekat dengan pemukiman penduduk. Menjadikannya pusat kesehatan yang mudah diakses masyarakat. Tapi meski demikian, menurut bidan Ulfa, masih banyak masyarakat yang enggan datang ke Puskesmas, terutama ibu hamil dan ibu dengan balita. Alhasil, bidan dan petugas kesehatan memilih mendatangi langsung rumah-rumah, melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil dan imunisasi balita.
"Kita datangi semampu kita, memeriksa ibu hamil, mengecek bayi dan balita, itu pun masih banyak yang gizi buruk dan stunting. Bagaimana bila kita tidak jalan ke rumah-rumah? mungkin akan lebih banyak lagi, " tutur Ulfa. Saya hanya angguk-angguk. Apa yang membuat ibu-ibu ini tidak mau datang ke Puskesmas? saya bertanya heran. Ya, saat itu mindset saya belum sepenuhnya memahami, bagaimana kultur sosial masyarakat di wilayah yang jauh dari kota.
Bidan Ulfa hanya tersenyum menjawab pertanyaan saya. "Sebelum ada kejadian (musibah), masyarakat belum akan sadar pentingnya datang ke Puskesmas," jawabnya. Saya hanya mengangguk-angguk.
Banyak berbincang dengan Bidan Ulfa perlahan-lahan menghadirkan pengetahuan baru. Tentang ibu hamil yang enggan ke puskesmas, tentang balita yang tidak diimunikasi, tentang bayi-bayi yang diberi makan sebelum usia 6 bulan dan tentang orang tua yang mengasuh anak berbekal pengetahuan seadanya.
Bidan Ulfa juga membawa saya bertemu ayah dari bayi gizi buruk yang baru saja meninggal di usia belum genap 9 bulan. Sang ayah ternyata sudah paruh baya, menikah dengan istri yang usianya jauh lebih muda. Tiga bulan pasca melahirkan, sang istri kembali ke kota Kendari untuk bekerja. Bayi ditinggal dengan ayah yang tidak paham gizi. Jadilah bayi diberi asupan seadanya, dan berakhir menjadi musibah. Sang buah hati gizi buruk hingga akhirnya meninggal. Demikianlah cerita yang saya dapatkan.
Kembali lagi pertanyaan saya ke bidan Ulfa, Puskesmas jemput bola ke masyarakat, tapi masih kecolongan ada bayi gizi buruk?
Lagi-lagi jawaban bidan Ulfa membuat terperangah. Bahwa hal tersebut sudah dilakukan, sudah dilaporkan untuk mendapat intervensi berupa pemberian makanan tambahan (PMT). Tapi birokrasi yang panjang kerap membuat PMT lambat sampai ke masyarakat. Bahkan, tidak jarang PMT yang tertahan di gudang kadaluarsa hanya karena menunggu birokrasi.
---
Dalam perjalanan kembali ke Kendari, saya banyak merenung. Ada banyak hal-hal yang kelihatan remeh dan kerap diwajarkan, tapi bagi sebagian orang ini menjadi penentu hidupnya. Birokrasi misalnya. Panjangnya birokrasi, dengan segambreng persyaratan dan mengakibatkan layanan menjadi lambat dianggap normal. Banyak oknum berlindung dibalik 'normalisasi birokrasi' ini, sehingga tidak ada yang bisa menuntut mereka atas tanggung jawab yang sebenarnya tidak dilakukan.
Hari itu, catatan saya penuh. Tapi kepala saya juga lebih penuh.
![]() |
Perjalanan kembali menuju kota Kendari. Di jajanin durian sama Bli Wayan. Dia bilang saya seperti banyak pikiran, jadinya di hibur pakai durian |
#throwback #catatanperjalanan #menyusurinusantara
Komentar
Posting Komentar