Batam dan Bunda Maria yang Telah Berjuang

Hanya berjarak beberapa minggu saja setelah perjalanan saya dari Kendari, kota berikutnya telah menanti: Batam.

--- 

Batam bukan kota yang baru bagi saya. Sewaktu kecil, saya pernah ke Batam. Berangkat dari Pekanbaru dengan bis, kemudian lanjut naik kapal. Bedanya, dulu ke Batam untuk liburan sekaligus mengunjungi kakak sepupu yang kebetulan bekerja di sini. Kali ini, saya ke sini masih dalam rangka menunaikan tugas negara - pengumpulan informasi gizi buruk dan stunting. 

Mba Tina lagi-lagi menjadi partner kerja. Kami sepertinya cocok, mba Tina jago di analisis data, saya paling males bacain data dan angka-angka. Nah, cocok kan hahahah.... :p 

Apa yang kami lakukan di Batam kurang lebih sama dengan yang kami lakukan di Makassar dan Kendari. Bedanya, jika kasus di Kendari kami bermitra dengan LSM, di Batam kami bermitra dengan salah satu sekolah tinggi kesehatan. 

Selama di Batam, saya menuntaskan tugas lagi-lagi dibantu rekan media lokal. Namanya Ajanx, salah satu kontributor media nasional yang bertugas di Biro Batam. Ajanx aslinya orang Cirebon. Entah kenapa dia memilih merantau ke Batam dan jadi kuli tinta. Di Batam pula Ajanx bertemu dengan belahan jiwanya hingga membangun keluarga kecil yang harmonis. 

Dengan bantuan Ajanx, kami berhasil mendapatkan data kasus gizi buruk dari Dinkes setempat. Nggak mudah, tapi dengan sedikit trik, voila... informasi yang dibutuhkan berhasil didapatkan. Well... saya kasih apresiasi untuk Kadinkes nya kala itu, terlihat waspada tapi kooperatif dengan media. 

Singkat cerita, tugas saya menggali informasi dan menembus narasumber selesai dalam 2 hari. Tapi, ada rapat koordinasi yang masih perlu di lakukan dengan mitra, sekaligus preview data awal. Sayangnya, rapat baru bisa dilakukan di hari ke 4, karena dari pihak Stikes butuh setidaknya 1 hari untuk mengolah data. Artinya, di hari ke 3, tidak ada kegiatan. Eng ing engg.... otak jahil ini mulai bekerja :p 

Punya 1 hari bebas tersebut ternyata juga tidak disia-siakan mba Tina. Ia mengajak naik fery ke Singapura. Cukup 45 menit, sudah sampai di Singapura. Hmm.. jika saya tipikal ngayap yang situasional, mba Tina ternyata tipikal terencana. Ia bahkan sudah membawa paspor wkwkwk...

Saya tidak bawa paspor. Jadi hanya mba Tina yangmenyebrang ke Singapura. Saya tadinya mau leyeh-leyeh saja di hotel, tapi kemudian Ajanx meghubungi dan bertanya apakah saya ingin ikut dia liputan. Dia bilang, hari itu dia ditugaskan liputan di Pulau Galang. Hmm... siapa yang bisa menolak kesempatan? 

Pulau Galang

Kisah Pulau Galang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perang Vietnam. Perang Vietnam, dikenal juga dengan Perang Indochina terjadi periode 1955 - 1975. Peristiwa yang menjadu bagian Perang Dingin, yaitu konflik ideologi antara komunis dan anti komunis ini telah memecah Vietnam menjadi dua bagian, Ho Chi Minh yang menginginkan negara komunis dan Ngo Dinh Diem yang ingin membangun negara ala barat. 

Perang saudara ini berlangsung sangat brutal. Belum lagi penggunaan napalm dan agen oranye, sejenis campuran bahan kimia yang dirancang sebagai senjata kimia yang sanbat mematikan. Hal inilah yang memicu eksodus besar-besaran masyarakat Vietnam ke berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Rombongan pertama, sebanyak 25 orang tiba di Pulau Laut, bagian utara Kepulauan Natuna pada 22 Mei 1975. Setelahnya, para pengungsi tersebut terus bertambah dan mendarat di berbagai pulau di Kepulauan Riau. Untuk keperluan Refugee Processing Centre (RPC), pemerintah mulai membangun pulau Galang, sebagai pusat penampungan dan pemeliharaan pengungsi. Sebelumnya, tidak ada kehidupan sama sekali di pulau kecil yang terletak persis di depan Tanjung pengapit dan berjarak sekitar 60 km dari kota Batam ini. Hingga akhir program pengungsian, tercatat 250 ribu warga vietnam bermukim di Pulau Galang. 

Ini pertama kalinya saya masuk camp pengungsingan. Rasanya agak deg deg serr.. antara penasaran tapi juga sedikit merinding, apalagi dalam perjalanan menuju Pulau Galang, Ajanx sempat menceritakan hal-hal yang tak terungkap ke media. Jujur, di kepala saya bergentayangan kisah dokumenter camp pengungsi perang Bosnia yang terekam dalam otak kanak-kanak saya. 

Oh ya, walaupun ex Kampung Vietnam ini berada di sebuah pulau, namun dapat ditempuh dengan jalur darat. Karena ada jembatan yang menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Galang, namanya Jembatan Barelang. Sejatinya, Jembatan Barelang merupakan singkatan 3 nama pulau yang terhubung oleh jembatan ini, yaitu pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. 

Memasuki kawasan kampung Vietnam, ada pos jaga. Di sini kita berhenti untuk beli tiket masuk. Saya tidak ingat berapa harganya karena Ajanx yang bayar hehehhe..

Dari pintu masuk ini,  kita melewari jalan menanjak dengan suasana teduh dan sunyi. Hanya suara motor dan cicit burung yang terdengar. Tak berapa lama, Ajanx menghentikan motor di pinggir jalan, di dekat sebuah tugu setinggi sekitar 1 meter. Di bawahnya ada hio yang masih berasap, pertanda baru saja ada yang datang dan sembahyang di sini. 

"Di sini dulunya ada yang bunuh diri, makanya di bangun monumen ini, suka ada yang sembahyang biar arwahnya tenang," ujar Ajanx santai. Iya, teman seumuran saya itu tenang, saya melotot seketika. 

Seandainya mulut ini nggak bisa di rem, pasti sudah terlontar "Gile lu Ndro, tempat pertama lu malah berenti di tempat orang log out ke dunia lain!"

Tapi untungnya waktu itu cukup sadar diri, saya lagi di daerah antah berantah, jangan sampai terucap kata-kata kasar dan tak senonoh. Seremmm..

Jadi, kisah lengkapnya seperti ini. Ada seorang pengungsi namanya Tinh Nham Laoi yang diperkosa 7 pemuda sesama pengungsi juga. Tak tahan dengan penderitaannya, Tinh Nham Laoi depresi dan berakhir bunuh diri. 

"Padahal mereka sesama pengungsi ya, tapi bisa tega perkosa orang sekampungnya sendiri. Kenapa mereka nggak mikirin cara buat balik ke negaranya, atau.. yaa.. I don't know..think something better for their life?" saya berguman. Sungguh dalam situasi seperti itu, otak julid ini tidak bisa di ajak bekerja sama. Ajanx menatap saya lama. Seperti tatapan penuh kasihan. I feel that broo hahaha...

"Nil, serius kamu mikir sepolos itu? ini tuh pengungsian yang isinya bukan cuma 10-20 keluarga, tapi ratusan ribu manusia, dan mereka harus hidup di sini bukan seminggu dua minggu, tapi bertahun-tahun tanpa kejelasan. Gimana nggak stress? seperti orang terbuang yang hanya menunggu belas kasihan orang lain. Kejahatan itu muncul bukan hanya karena ada kesempatan, tapi bisa jadi karena sudah tidak ada harapan, maka manusia menjadi jahat," Ajanx berkata pelan, terdengar seperti orang dewasa menasehati bocil kemarin sore. Saya hanya mengangguk-angguk, tapi pikiran saya tetap tak bisa fokus pada saat itu. Ia melayang membayangkan camp pengungsian itu sesuka hati, semakin liar. 

Tak lama, Ajanx kembali menjalankan motornya menyusuri tanjakan. Kami diam, saya tetap sibuk dengan pikiran saat itu, membayangkan Tinh Nham Laoi yang tertindas orang sekampungnya sendiri. 

Tak lama, motor kembali berhenti, kali ini di sebuah dataran dan berwarna putih. Yup..si Ajanx ini memang teman yang luar biasa lho yaa...tidak sadarkah dia kalau yang dia bawa ini tidak sesangar keliatannya? malah di ajak berenti menyusuri pemakaman. Ckckck... 

Well, saya bingung mau menceritakannya hahha.... skip aja!!!

Kami meneruskan perjalanan, mulai terlihat banyak bangunan seperti wisma-wisma beratap pendek, cukup terawat tapi jelas sudah lama tidak ditempati. Itulah bangunan-bangunan yang menjadi tempat berlindungnya masyarakat vietnam kala itu. Beberapa bangunan di fungsikan untuk sekolah, dapur umum, medis dan...ada juga penjara. Selain itu, ada rumah ibadah seperti gereja, klenteng dan vihara. Meskipun kawasan ini sudah tidak lagi menjadi tempat tinggal, namun ketiganya rumah ibadah ini masih berfungsi hingga saat ini. 

Saya bahkan sempat berteduh lama di dalam gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem atau Immaculate Conception Mary Church, karena hujan tiba-tiba turun. Gereja berdinding kayu berwarna putih ini cukup menarik perhatian saya, entah kenapa patung bunda Maria di atas bola dunia yang berdiri di bagian altar menarik perhatian saya. Patung berwarna putih dan biru itu, seolah bukan hanya sekadar simbol iman, tapi seperti ada hal lain yang ingin disampaikannya. Perlindungan? pemberi harapan? entahlah. Semakin saya memperhatikannya, rasanya semakin... seperti ibu yang sedang berupaya melindungi keluarganya, dan kini tugasnya telah selesai. Ia seperti tersenyum dalam lelah.  

Dan konon kabarnya, patung tersebut di bawa oleh pengungsi dari vietnam. 

Jelang sore, hujan berhenti dan langit kembali cerah, Ajanx kembali mengarahkan motornya menuju kota Batam. Oh ya, sebelum memasuki jembatan Barelang, saya mendadak minta Ajanx berhenti. Di kawasan yang di dominasi bebatuan dan tanah kuning itu, banyak tumbuh tanaman kantong semar. Sebelum sempat Ajanx bertanya, saya sudah melesat memanjati bebatuan tersebut. Dan benar saja, dari atas bukit batu tersebut, terlihat lautan lepas yang diselingi pulau-pulau kecil berwarna hijau. Bagi saya ini indah. 

Lalu apa yang terjadi pada Ajanx? sudah pasti, dia hanya berdiri bengong di pinggir jalan,  tak paham dengan apa yang teman seperjalanannya lakukan. Tak lama ia mulai meneriaki saya untuk turun, karena hari sudah mulai gelap. 

 







Komentar

Postingan Populer