Ways To Live Forever

Sebenarnya, ada banyak hal yang mengganjal di kepala belakangan ini. Urusan 'kekeluargaan' yang pastinya akan membuat alm kakek-nenek kecewa, tetangga yang usil hingga obsesi dan cita-cita yang mengambang. Semuanya berebut ingin dibebaskan.

Tidak, untuk saat ini saya lebih baik tetap mengurung mereka supaya saya semakin dapat memahami apa yang sebenarnya mereka mau. Jadi, saya putuskan untuk bercerita tentang sebuah buku yang saya beli beberapa hari yang lalu.

Ways to Live Forever, ditulis oleh Sally Nichols yang kini bermukim di London.

Dari judulnya, saya sebenarnya tidak begitu tertarik. apalagi begitu melirik penulisnya. "Saya tidak kenal" - namanya tidak familiar di kuping saya, begitulah kesan pertama. Tapi, covernya yang di desain biru muda nan lembut dengan gambar anak kecil sedang menatap langit, saya langsung jatuh hati. Akhirnya, buku yang sedang didiskon 20% (diskon=alasan lainnya) itupun saya bayar.

Sebuah buku anak-anak. Seingat saya, terakhir membaca buku genre ini adalah pada saat SMP. setelah Pippi si Kaus Kaki Panjang yang saya lumat, rasanya tidak ada lagi jenis dongeng pengantar tidur yang saya konsumsi.

Ways to Live Forever-bercerita tentang keinginan-keinginan seorang anak. Sebenarnya lebih tepat kalau saya sebut sebagai buku harian Sam, anak berusia 11 tahun, tokoh dalam karya itu.

(Ini versi Bahasa Inggris, versi bahasa indonesia dengan desain langit biru dan awan putih)

Sam mengidap leukimia. Tahu kan apa itu Leukemia?

Leukemia-kanker darah, dimana sel darah putih pada tubuh seseorang tidak lagi bersifat sebagai antibodi. Leukimia adalah suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi neoplasitik dari sel-sel organ hemopoietik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukimia- begitulah definisi yang saya kutip dari sebuah situs.

Bagaimana Sam menghadapi hari-harinya, itulah yang dituturkan Nichols. Sam harus menjalani kemoterapi, Sam harus bersekolah di rumah, Sam tidak bisa lagi memanjat pohon, Sam harus akrab dengan selang infus hingga peristiwa berat yang harus dilaluinya: Kehilangan Felix, sahabatnya sesama penderita Leukemia.

Felix membuat hari-hari tak seburuk penyakit yang mereka hadapi. Berdua, mereka mengisi hari dengan cerita konyol dan penuh warna. Dengan pengetahuan kanak-kanak, mereka berdebat tentang Tuhan yang tidak adil yang membuat anak-anak menjadi sakit, tentang bagaimana seharusnya upacara kematian hingga mereka menyusun sebuah quesioner yang harus diisi keluarga jika mereka meninggal nanti.

Felix pun membantu mewujudkan keinginan-keinginan Sam yang sepertinya mustahil. Saya sungguh tak bisa membayangkan, ketika Sam mengatakan keinginannya: ingin menjadi remaja, ke pub, memiliki pacar dan melakukan yang dilakukan remaja. Wow!!! Felix ternyata bisa mewujudkan keinginan sahabatnya itu.

Sungguh, melahap lembaran demi lembar cerita ini membuat saya takjub. Meski hanyalah sebuah cerita, tapi kisah Sam yang tidak takut sama sekali menghadapi kematiannya itu benar-benar menyihir saya. Mungkin di jauh di luar sana, ada satu dua anak yang akan menghadapi kematin, dan mereka tidak takut sama sekali. Bisa saja, karena saya percaya, anak-anak adalah mahkluk yang ajaib.

Saya sendiri pernah hampir gila ketika seorang dokter kampret memvonis saya menderita Leukemia. Baru mendengar saja, saya sudah frustasi. saking frustasinya, saya langsung percaya saja dengan ucapan dokter bodoh itu.

Saya takut mati. Saya belum ingin berpisah dengan ibu, Jia, Gindut, Mance, Aiai, Nunda...dan sederetan wajah-wajah melayang-layang di benak saya. Meski tak jarang pula saya jengkel dengan beberapa diantara mereka, tapi ketakutan akan mati membuat saya lupa dengan rapor merah mereka.

Bagaimana mereka nanti setelah saya tidak ada? (inilah bukti kenarsisan yang sudah mengakar saya rasa)
Ketakutan itu membuat saya pelan-pelan menarik diri. Menyepi lebih mudah ketimbang bercengkrama dengan mereka.

Menjadi autis itu saya jalani hampir satu tahun. Hingga akhirnya seorang sahabat, pelan-pelan memaksa saya berfikir rasional (ini mirip dengan kisah Sam-peran sahabat). Kita mulai mengkaji. Akhirnya saya putuskan untuk berani mencoba melakukan serangkaian tes.
Dan hasilnya, tidak ada leukemia. Tapi bahwa ada sesuatu yang salah dengan darah saya, itu benar.

Setidaknya, bukan kanker, begitulah pikir saya. Soal ada masalah lain, itu urusan belakangan. Meski akhirnya saya harus mengkonsumsi sejenis "obat kuat" secara rutin karena keanehan tersebut. Bahkan, si Biji Oxo, teman yang membuat saya dapat menyalurkan bakat usil pun menjuluki saya vampir lenteng. hahahah....Salam Ngawur, Teman. I Love Ngawur ^,^ (ucapan salam yang tidak nyambung dengan topik pembicaraan)

Hari-hari penuh ketakutan itu sebenarnya telah berlalu. Saya bahkan sudah melupakannya. Saya juga tidak memikirkan mati lagi setelah itu. Tapi sekarang, saya menyadari, betapa piciknya saya. Kalau bukan karena si dokter bodoh itu, saya mungkin tidak akan pernah memikirkan kematian. Baru saat itu pula muncul pertanyaan di benak saya, apakah saya nanti bisa menjadi nenek-nenek?

Karena tidak memikirkan mati itu saya tidak peduli bila memaki sopir bis yang berhenti seenaknya, sumpah serapah untuk tukang ojek yang mengenakan tarif gila-gilaan hingga sebuah lirikan menghina untuk mas-mas kantoran yang pura-pura tidur di bus way sementara ada ibu-ibu hamil yang tak kebagian tempat duduk.

Saya pikir, sudah saatnya saya harus menjadi anak manis yang sopan, seperti yang selama ini diinginkan ibu. Tapi menjadi anak manis sopan dengan ucapan tertata rapi itu pastinya butuh proses. Kecuali ada peri baik hati yang tiba-tiba mengutuk saya menjadi anak manis idaman semua orang.



Komentar

Postingan Populer