Cerita Tentang Bapak Kepala Ruangan

Denting sendok bertemu cangkir. Saya menyudahi adukan setelah butiran kasar gula putih menghilang. Cangkir di dalam nampan biru itu lalu saya bawa diatas tangan kiri.

Tok..tok..tok...

Sayup suara dari dalam sana memerintahkan saya untuk masuk. Pak Kepala Ruangan sedang berbincang dengan tamunya. Seorang ibu berkonde jawa dan satu lagi, gadis ayu bermata bulat. Pasti itu pasangan ibu dan anak. Meski si gadis tak sekurus ibunya, tapi dari garis mukanya jelas terlihat kemiripan. Terutama pada batang hidungnya yang ramping. Di bawahn ya, terdapat sepasang bibir tipis berpoles gincu merah muda. Sang ibu gincunyaberwarna merah darah. Keduanya tersenyum begitu cangki-cangkir berisi teh manis hangat saya hidangkan di hadapan ke duanya. Dan untuk Bapak Kepala Ruangan, saya mengisikan air putih pada gelasnya yang besar.

“Saya harus banyak minum air putih, sudah mulai penyakitan,” ujar Pak Kepala Ruangan. Ucapan itu lebih ditujukan kepada kedua tamunya.

Saya pun beringsut mundur kepintu, keluar lalu menutup lagi pintu kayu itu dengan perlahan.

Bapak Kepala Ruangan adalah laki-laki berumur sekitar 40 tahun, sedikit lebih muda saja dari ibu saya. Dia memiliki 2 orang anak, yang besar sudah mau kelas 6 SD dan yang kecil baru mau masuk SD. Bapak Kepala Ruangan pernah bilang, dia terlambat kawin. Akibatnya, disaat usinya berkepala 4, anak-anaknya masih bocah.

Kondisi yang sangat berbeda jauh dengan saya barangkali. Ibu saya menikah pada usia 15 tahun. Tak lama kemudian, sayapun lahir. Berapa umur bapak saya waktu itu, sayapun tak tahu. Dari cerita Ibu, Bapak masih saudara jauh nenek saya. Dia meminang ibu karena tak jua mendapat putra dari dua istrinya terdahulu. Kakek nenek saya mengizinkan putri sulungnya dikawin. Alasannya klasik, ekonomi keluarga. Sang calon mantu pun berharta.

Rahim ibu ternyata benar memberikan apa yang dimau suaminya. Ia melahirkan seorang putra. Suami ibu akhirnya bahagia, tak salah memilih istri. Tapi, ibu yang tidak bahagia. Istri-istrinya yang lain yang tak bisa memberi anak lelaki cemburu. Akhirnya suami ibu mati di teluh istri-istri tuanya. Sejak itu, ibu kembali banting tulang mencari uang agar bisa membelikan susu untuk bayi laki-lakinya. Warisan suami ibu yang katanya akan diberikan kepada anak lelakinya pun tak jelas juntrungannya. Ibu pun tak pernah mengusik itu.

Karena suami ibu, saya memang akhirnya ada di dunia. Tapi karena suami ibu pula, harapan ibu terbebas dari himpitan ekonomi tak pernah ada. Saya sekolah seadanya dari jerih payah ibu. Tak ada campur tangan suami ibu yang seharusnya menjadi bapak dalam hidup saya. Saya punya Bapak hanya dalam 2 bulan pertama hidup saya. Barangkali Bapak ada membelikan saya popok. Tapi setelah itu, saya tak lagi mengenal Bapak. Saya hanya beberapa kali diajak ibu mengunjungi batu nisan atas nama Waluyo, wafat, 1985. Tak ada tahun lahirnya. Saya tak pernah bertanya dan ibupun juga tak pernah memberi tahu yang tak ingin saya ketahui.

“Berapa umurmu Pri?” tanya Pak Kepala Ruangan suatu kali. Kami bertemu di depan lift.

“24, Pak,” jawab saya

“Masih muda, tapi kau keliatan sudah dewasa,” ujarnya sambil meneliti setiap jengkal wajah saya.

“Sebelum di sini, kau pernah bekerja di tempat lain?” lanjutnya.

“Pernah, bantu-bantu di toko orang,”

“Lho, kenapa kau keluar? Enakan jualan toh? Enggak perlu bersihkan kamar mandi orang lain?” ujarnya heran.

Saya diam saja. Bekerja di toko kelontong milik Kokoh Aping membuat saya serasa tersangka. Setiap hendak pulang, pastilah digeledah algojo-algojonya si engkoh keparat. Ketauan membawa sebutir beras di saku celana, alamat tinjunya mendarat di perut. Lagi pula, menjadi tukang kebersihan di kantor pemerintahan ini seringkali membuat saya mendapat rupiah tak terduga.

Gaji resmi saya sebulan hanyalah sepertiga dari uang tip yang saya terima. Apalagi bila Bapak Kepala Unit sedang kedatangan perempuan selingkuhannya, saya pun kecipratan rejeki. Imbalannya, saya harus menjaga bila istri Bapak Kepala Unit yang sering inspeksi mendadak tidak langsung menuju ruangan suaminya. Semakin sering para selingkuhan menemui lelakinya di kantor ini, kantong saya pun semakin tebal. Alasan itu, tentunya tak sopan bila saya kemukakan pada Bapak kepala Ruangan.

“Senang kau bekerja di sini Pri?” tanya Pak kepala ruangan. Dia akhirnya mengalihkan pertanyaannya.

Saya mengangguk. Lalu lampu merah pada pintu lift menyala. Maka berakhirlah obrolan kami sore itu. Pak kepala ruangan kemudian masuk ke dalam kotak besi itu, dan pintu lift pun menutup kembali.

Masih banyak percakapan ringan saya dan Pak Kepala Ruangan lainnya. Semuanya terjadi ditengah pertemuan-pertemuan yang tidak di sengaja. Maklumlah, Pak Kepala Ruangan begitu sibuk. Pastinya, tidak mungkin ada waktu bagi dia sengaja menemui seorang petugas kebersihan hanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak penting.

Satu kali, motor kreditan saya kehabisan bensin. Terpaksalah hari itu saya berangkat dengan angkutan umum. Saya menyetop sebuah bis kota nomor 39. Beruntung, di jam sibuk itu saya masih dapat kursi kosong, saya duduk di samping seorang bapak berjaket hitam.

Saya lalu duduk. Ternyata ujung jaketnya terhimpit pantat saya yang memang agak besar. Ketika itulah si Bapak berjaket hitam menoleh sambil menarik ujung jaketnya.

“Lho, kamu Pri?” ujarnya kaget.

Seharusnya saya yang lebih kaget. Buat apa Bapak kepala ruangan naik bis pagi-pagi buta begini?

“Bapak, kok disini?” tanya saya spontan.

“Ya iya, kan ini bis yang lewat rumah saya,” ujarnya sambil terbahak.

“Ternyata kita searah,” lanjutnya.

Bapak kepala ruangan sepertinya senang bertemu dengan saya pagi itu. Dia lalu bercerita banyak. Termasuk cerita tentang dia terlambat kawin itu. Dan yang lebih membuat saya melongo, bis nomor 39 itu adalah transportasi langganan Bapak Kepala ruangan. Bapak kepala ruangan ternyata tidak kekantor dengan mobil, seperti kebanyakan kepala ruangan lainnya.

Menjadi kepala ruangan ternyata tidak di bayar puluhan juta rupiah seperti yang saya bayangkan selama ini. Jika hanya mengandalkan gajinya saja, dipastikan Bapak Kepala Ruangan setiap akhir bulan akan berhutang beras dengan tetangga kiri kanan. Beruntung, sang istri ternyata pengertian. Menurut cerita Bapak Kepala Ruangan, sejak awal menikah, istrinya sudah membangun usaha kecil-kecilan. Dimulai dengan sebuah meja kayu di depan teras rumah kontrakan mereka, sang istri berjualan sayur di pagi hari.

Sampai sekarang, istri Bapak Kepala Ruangan masih berjualan sayur, tapi tidak lagi dengan meja kayu. Sekarang Bapak Kepala Ruangan sudah berhasil membangunkan sebuah warung untuk istrinya berjualan. Bapak Kepala Ruangan dan keluarganya juga tak tinggal di rumah kontrakan lagi, tapi sudah berhasil menyicil rumah.

Di akhir ceritanya, Bapak Kepala Ruangan berkata, “Kamu tahu Pri, saya punya henpon pertama itu dibelikan istri saya loh,” ujarnya bangga. Namun, sesaat kemudian, raut mukanya tampak gundah.

“Harusnya itu tugas dan kewajiban saya, tapi kok ya istri saya yang menafkahi keluarga?” ujarnya datar.

Bis kota berguncang. Sepertinya sopir kurang hati-hati sehingga tidak bisa mengelakkan lubang-lubang yang mulai menggerogoti jalanan. Bapak Kepala Ruangan mendekap tas kerja di pangkuannya supaya tidak jatuh. Tangan kanannya spontan menyambar sandaran kursi di depannya. Syukurlah, sejenak saya bisa terlepas dari pertanyaan yang tidak mudah itu.

Matahari sudah terbenam. Azan magrib dari mesjid kantor pun sudah lama berlalu. Saya mulai membereskan ruangan. Kebersihan 4 ruangan, 12 bilik dan satu ruang tunggu di lantai 7 gedung tua milik pemerintah itu adalah tanggung jawab saya.

Seperti biasa, saya mulai dari ruangan Bapak Kepala Unit. Pendingin ruangan yang dibiarkan menyala begitu saja adalah hal yang biasa saya temui sejak bekerja di sini. Sangat sedikit pegawai yang mau mematikan AC sebelum pulang. Satu atau dua saja barangkali. Huh..kadang saya jengkel. Para pejabat pemerintah inilah sebenarnya yang boros listrik. tapi, yang mendapat pemadaman bergiliran demi menghemat energi adalah masyarakat.

Meja kayu jati di pojok ruangan dengan papan nama berlapis emas sebenarnya tak ada yang perlu di rapikan. Sejatinya, barang mewah itu hanyalan perabot pelengkap ruangan. Tak pernah dipakai untuk bekerja. Tapi demi formalitas, saya tetap saja mengelap meja tersebut. Ada sebuah foto keluarga, Bapak Kepala Unit dengan istrinya yang cantik dan 3 orang anaknya.

Kulkas 2 pintu dengan berbagai jenis minuman kaleng, TV, komputer keluaran terkini, semua saya lap. Lalu tempat sampah. Saya menginjak pedal di bawahnya sehingga penutupnya terbuka. Beberapa potong tisu bekas pakai, bungkus rokok, kaleng minuman, kemasan kondom merek X dan tentu saja dengan isinya yang sudah dipakai. Dua biji, meringkuk di pojokan tempat sampah. Saya Cuma bisa tersenyum kecut setiap kali menemukan benda pengaman itu di ruangan-ruangan pejabat di kantor ini.

Beres, saya beralih ke ruangan di sebelahnya, ruangan mungil milik Bapak Kepala Ruangan. Saya mendorong pintunya yang tak terkunci.

“Lho, Bapak? Masih di sini?” Tanya saya kaget.

Lelaki berperawakan kecil itu masih meringkuk di balik mejanya. Setumpuk berkas, bekas kotak sepatu, 2 map berwarna hijau dan sebuah tas plastik memenuhi meja kerjanya. Raut mukanya pias, tersembunyi di balik kacamatanya. Dia menatap saya, kosong.

“Maaf, saya tidak tahu Bapak belum pulang,” ujar saya kaku. Saya bergegas mundur sambil menarik pintu.

“Pri,” panggilnya cepat. Saya tidak jadi menutup pintu.

“Bisa kamu temani saya sebentar?” pintanya. Saya pun mengangguk.

Bapak Kepala Ruangan mempersilakan saya menduduki kursi di depannya. Lelaki yang menjadi Kepala Ruangan sejak dua tahun yang lalu itu menghela napas panjang.

“Besok saya tidak di sini lagi,” ujarnya datar.

Saya diam saja. Hanya mengamati barang-barang di ruangan ini yang mulai di kemas.

“Bapak pindah kemana?”

“Ke rumah, bantu istri saya berjualan. Warungnya sedang butuh pegawai baru,” ujarnya terkekeh. Saya pun ikut terkekeh. Setelah itu, kami sama-sama diam sejenak. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan bergelantungan di benak saya. Herannya, mulut ini terkunci rapat.

“O ya, kamu ingat perempuan tamu saya beberapa bulan yang lalu?” ujarnya bersemangat.

Saya mengangguk. Sangat mudah mengingat tamu yang dimaksud. Dua perempuan dengan raut wajah keturunan jawa yang sangat kental. Meski hanya menyaksikan selama beberapa menit, tapi saya sempat menangkap sorot mata tajam dari perempuan muda dengan gincu merah muda itu. Selaian itu, Bapak Kepala Ruangan memang jarang dikunjungi tamu perempuan.

“Itu tukang jamu yang biasa berjualan di sekitar rumah. Anaknya baru lulus, saya ingin bantu dia jadi pegawai di sini,” jelas Bapak Kepala Ruangan.

“Setelah lima belas tahun di sini, baru kali ini saya coba-coba masukin Calon Pegawai, ternyata berhasil,” seyum mengembang di wajahnya. Matanya berbinar gembira. Saya ikut tersenyum, mencoba merasakan kebahagiaan Bapak Kepala Ruangan. Namun yang saya temukan kekecewaan. Kenapa setelah membantu orang mendapat kerja, Bapak Kepala Ruangan malah kehilangan pekerjaan?

Bapak Kepala Ruangan terus saja bicara dengan riang. Menceritakan Laksmi, si anak tukang jamu keliling yang sebentar lagi akan mendapat pekerjaan hingga warung sayur istrinya yang akan mendapat pegawai baru. Seperti anak kecil yang mendapat rapor bagus. Dia juga tidak mempedulikan kegelisahan saya menghadapi perbincangan terakhir itu.

Tiga hari berlalu sejak perpisahan sederhana saya dengan Bapak Kepala Ruangan itu. Sementara Bapak Kepala Ruangan yang baru belum juga datang. Bisik-bisik sesama pegawai mengenai berhentinya Bapak Kepala Ruangan secara mendadak pun mulai tersiar di mana-mana.

Meski banyak versi yang saya dengar, namun intinya tak jauh berbeda. Entah kenapa, saya bersyukur kabar angin yang saya dengar itu tak banyak di bumbui si pembawa cerita. Secara umum, ada dua versi cerita yang saya anggap mendekati kebenaran.

Versi pertama, Bapak Kepala Ruangan ternyata di mutasi ke sebuah kecamatan di Kalimantan dan jabtannya di turunkan setingkat di bawah Kepala Ruangan. Pasalnya, Bapak Kepala Ruangan di tuduh memasukkan calon pegawai dengan ijazah palsu dalam penerimaan pegawai tahun ini. Calon pegawai baru dengan ijazah palsu yang diloloskan tersebut ketahuan bagian pengawasan. Alhasil, si “orang dalam” harus menerima ganjarannya.

Versi keduanya, memang benar Bapak Kepala Ruangan membantu seorang Calon Pegawai Baru lolos dalam seleksi penerimaan pegawai, namun si Calon pegawai memeiliki ijazah asli, bukan palsu. Bapak Kepala Unit lah yang memasukkan Calon Pegawai dengan ijazah palsu. Namun, karena Bapak Kepala Unit adalah teman baik Kepala Pengawasan, akhirnya kesalahan ditimpakan kepada Bapak Kepala Ruangan. Di sini, hal itu wajar saja, mengingat Bapak Kepala Ruangan jabatannya lebih rendah daripada Bapak Kepala Unit. Lagipula, Bapak Kepala Ruangan juga tidak terlalu akrab dengan pejabat-pejabat di bidang pengawasan. Alhasil, Bapak Kepala Ruangan harus rela berkorban demi atasannya.

Lagi-lagi, saya memilih mempercayai versi kedua cerita itu. Saya yakin, Bapak Kepala Ruangan akhirnya memilih keluar dari kantor ini daripada di lempar ke pelosok. Bapak Kepala Ruangan bukanlah orang yang tega meninggalkan sang istri kerepotan mengurus warung dan dua bocah.

Kewajibannya sebagai warga Negara sudah cukup. Bahkan, saya rasa hak yang diterima Bapak Kepala Ruangan tak sebanding dengan pengabdiannya kepada Kantor Pemerintahan ini. Sekaranglah saatnya, Bapak Kepala Ruangan menunjukkan abdinya pada keluarga tercinta.


Jakarta, Desember 2009

Komentar

Postingan Populer