DIENG PART 2 - Silent Trip

Ini kali kedua saya menginjakkan kaki di bumi para dewa ini. Kali kedua mampir ke Bu Jono, penginapan yang konon kabarnya adalah yang pertama ada di Dieng. Kali kedua pula saya bercerita dengan Pak Didik, pemandu wisata yang siap mengantar kemanapun saya mau.

Tapi ini kali pertama saya pergi sendiri, tanpa sahabat yang selalu membuat perjalanan biasa menjadi luar biasa. Maka saya sebut ini Silent Trip.

Dieng masih sama seperti dua tahun yang lalu. Hamparan kebun kentang dan kol menghijau kemanapun mata memandang, dingin yang datang bersama kabut di sore hari dan hujan gerimis menyapa di siang hari. Di pagi hari, sesekali terlihat wanita paruh baya memanggul hasil panen dengan berselimut kain sarung. Anak-anak berseragam sekolah berlarian sambil bermain air sisa hujan yang menggenang di jalanan. Saya lebih suka menikmati pemandangan itu sambil mandi sinar matahari dari balkon Bu Jono.

Tadi subuh, ketika Pak Didik membangunkan saya pukul 03.49, beliau bertanya tujuan saya kali ini. Saya bilang saya hanya ingin ke Sikunir. Cuaca memang agak mendung dan berkabut, kemungkinan besar saya tidak akan bisa melihat sunrise. Saya bilang bahwa saya tidak hanya mengejar sunrise. Saya hanya ingin ke Sikunir, itu saja. Mendaki gunung dengan ketinggian 2.250 mdpl dan menikmati awan biru di puncaknya, rasanya sudah cukup untuk menyegarkan kembali pikiran saya. Bertemu matahari terbit, yang juga dikenal dengan mist & misterious adalah bonus.

Pukul 04.15 kami berangkat dari penginapan. Saya hanya membawa sebotol teh panas dan dititip di tas Pak Didik. Langit sudah mulai terang begitu kami mulai mendaki. Senter yang sudah disiapkan akhirnya tidak jadi dinyalakan. Sekitar 15 menit berjalan, Pak Didik mulai ngos ngosan. "Wah...sekarang saya yang nungguin Bapak," saya berhenti sambil becandain laki-laki yang sudah lebih dari 10 tahun menggawangi Dieng. Dia hanya terkekeh.

Saya ingat, saat mendaki Sikunir 2 tahun yang lalu, Pak Didik lah yang menyemangati saya dan Gindut yang kala itu ngos-ngosan. Antara mengatur napas dan kedinginan, perjalanan terasa berat. Tapi kali ini, mungkin karena hujan yang mengguyur Dieng semalaman berhasil mengusir kabut dingin yang biasa menyelimuti Sikunir.

Sekitar 05.10, saya mencapai puncak Sikunir. Langit sudah benar-benar terang. Saya cukup takjub. Sepagi itu dan langit sudah terlihat biru. Beberapa awan putih menutup puncak Gunung Sindoro yang berada di sisi timur. Dari sana pula, semburat jingga sang dewa akan terlihat dalam hitungan menit.

Saya duduk pada sebatang kayu yang melintang ditemani sebotol teh panas dari penginapan. Pak Didik ikut menggeletakkan ranselnya di samping saya. Sebuah pohon akasia dengan sedikit daun berada tegak lurus di hadapan saya. Di pohon itu, dua tahun lalu Pak Didik membidik saya dengan canon pocket bersama Gindut. Latar belakangnya sepotong awan tebal yang menghalangi cahaya matahari. Foto itu sekarang saya pajang di ruang tamu.

"Mau berfoto?" laki-laki ramah itu bertanya. Saya menggeleng. "Nanti saja Pak," ujar saya.
Seperti mengerti keinginan saya, kami pun akhirnya sama-sama menikmati langit pagi yang mulai berubah biru dan juga tingkah polah pengunjung yang kebanyakan remaja sibuk berfoto. Seorang bapak tambun berjaket bulu angsa juga asyik berfoto dengan gaya kaku. Berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia juga sepertinya mengadakan perjalanan seorang diri karena hanya seorang pemandu yang terlihat menemaninya. Tidak ada teman atau keluarga bersamanya.

Saya sempat terkekeh begitu pandangan mata tertuju pada kaki laki-laki berkacamata itu. Sebuah sandal plastik yang sepertinya produk toko sepatu Bata. Lalu pandangan saya beralih ke celananya. Seperti yang sudah saya duga, jika diperhatikan dengan seksama ada bekas lumpur di bagian paha.  "Setidaknya pakai sandal gunung atau sepatu ya, biar tidak terpeleset," seloroh Pak Didik. Saya tertawa. Ternyata dia juga memperhatikan apa yang saya perhatikan.

Selama 30 menit kemudian, kami asyik bercerita tentang Dieng. Legenda dan cerita-cerita. Ada satu cerita yang saya suka, cerita tentang kawah Candradimuka. Kawah yang mengalirkan lumpur berwarna hitam dengan suhu 100 derjat celcius. Meletup-letup seperti air mau mendidih. Konon kabarnya, di sanalah Gatot Kaca di rebus kala ia masih bayi. Tujuannya agar tulang-tulangnya menjadi kuat dan sakti mandraguna.

Turun dari Sikunir, Pak Didik akhirnya mengarahkan motor bebeknya menuju kawah Candra Dimuka. Hawa hangat dan bau belerang mewarnai udara begitu saya tiba di area kawah yang dikelilingi pohon kentang. Kami turun melalui anak tangga. Di bawah, ternyata bau belerangnya tidak begitu terasa. Hanya udara hangat dan aliran air berwarna hitam. "Itu lumpur yang sama orang Jakarta dijadikan masker muka," jelas Pak Didik begitu saya iseng mengorek-ngorek lumpur yang berwarna hitam pekat itu. Saya pikir pemandu saya ini sedang bercanda. Ternyata dia serius. Tapi kalau dipikir-pikir, saya percaya juga. Jika diperhatikan, ada butiran-butiran halus seperti emas pada lumpur tersebut. Barangkali itulah mineral-mineral yang berkhasiat bagi kecantikan.

Dalam perjalanan kembali ke penginapan, Pak Didik kembali mengajak saya bercerita. Tentang Jakarta, tentang Malaysia, Singapura dna tentang masalah-masalah yang pastinya akan selalu mengunjungi manusia. "Yang namanya orang hidup itu mesti ada masalahnya, kalau tidak ada masalah, orang tidak akan pernah berusaha untuk bahagia," ujarnya di sela napas yang masih ngos ngosan. "Kita boleh pergi-pergi dan jalan-jalan seperti ini, naik gunung, melihat alam  supaya jadi fresh. Tapi kita harus kembali untuk menghadapinya," ia tetap mengoceh. Saya hanya bisa mengiyakan, sambil berharap saya dapat menjalankan nasehat itu.

Gerimis lagi-lagi turun. Pak Didik menawari saya mantel, tapi saya menolak. Ia pun tidak memaksa. Ia hanya membiarkan saya berjalan di depan sambil menendang kerikil-kerikil tajam ke pinggir jalan. Matahari sudah mulai tinggi tapi rasanya dingin masih menyelimuti, dan gerimis tidak juga mau pergi. Alam menangis ketika matahari bersinar cerah. Adakah yang ingin disampaikannya kepada saya?

Sebentar lagi saya harus mandi dan mengepak barang-barang yang tidak banyak. Semula saya berniat Dieng hanyalah awal dari perjalanan kali ini. Tapi rasanya, saya harus pulang. Seperti kata Pak Didik, .... kita harus kembali dan menghadapinya. Saya rindu ibu.

Saya mengucapkan selamat berpisah dengan Pak Didik 15 menit yang lalu. Lelaki ramah itu pamit duluan karena harus mengantar anak dan istrinya ke Jogja siang ini.

Terimakasih Pak Didik. Suatu saat saya akan kembali lagi, berbincang tentang banyak hal karena Dieng seperti ibu yang selalu membuat saya ingin pulang ke pelukannya.





Komentar

Postingan Populer