Balada BBM naik, Pak Habibie dan Imunisasi
Sejak awal isu BBM akan dinaikkan beredar beberapa hari yang
lalu, saya taka da niat untuk ikut dalam perdebatan tentang BBM naik di ranah
media social. Bukan karena isu tersebut tak berpengaruh bagi kehidupan saya,
bukan juga karena tak peduli. Hanya saja, saya bukan pakar perminyakan dan juga
bukan pakar ekonomi yang opininya dapat dipertanggung jawabkan. Lagipula, sudah banyak orang yang akan
bersuara, baik yang berisi maupun yang kosong, yang sedikit bayak akan
mengakomodasi pendapat saya. Jadi saya putuskan cukuplah saya menjadi penonton
di luar arena saja.
Singkat kata, harga BBM akhirnya naik. Senin (17/11) malam,
sekitar pukul 20.00 saya pulang dari kantor, seluruh pom bensin mulai dari
jalan Radio Dalam, Pondok Cabe dan 2 buah pom Bensin di jalan Raya Parung –
Bogor sudah dipadati kendaraan bermotor. Si Kymco matic yang saat itu memang
sudah tiris pun akhirnya terpaksa disuguhi 2 liter bensin dari Pertamini, kios
bensin yang sekarang banyak nampang dipinggir jalan. Harganya memang sedikit
lebih mahal, 7.500 per liternya, yang penting bisa tiba di rumah secepatnya.
Pagi pertama BBM naik. Seperti biasa saya mengecek HP,
membuka semua aplikasi, email, sms, WA dan juga social media sejenis Facebook,
Path dan twitter. Seorang sahabat berada di timeline teratas Facebook saya
menulis “Common facebook, please
entertaint me!” – ternyata kita sependapat, lebih baik kita menjadi
penyimak dan penikmat perbincangan para “pengamat BBM” yang tiba-tiba muncul di
Facebook.
Facebook dan twitter akhirnya ramai. Tapi saya sendiri lebih
mengikuti keramaian di Facebook. Banyak yang protes dan mengeluh, tentu saja.
Para haters Mr. President bermunculan
dan mencela membabi buta. Ada yang mengungkit-ungkit soal kampanye Jokowi – JK,
donasi 1.000 untuk Jokowi – JK dan lain-lain. Ada juga yang menertawakan para
pengikut Jokowi yang dulu heboh dengan salam dua jari sekarang malah gigit
jari. Tak sedikit juga yang menertawakan diri sendiri karena menyesal telah
memilih Jokowi dalam pilpress kemarin. Saya sendiri bukan termasuk golongan
yang menyesal atau yang menertawakan. Pilpress kali ini saya tidak menggunakan
hak pilih, karena tepat pagi 9 Juli yang lalu, di saat orang-orang berjalan ke
TPS , saya justru di antar ke UGD karena blooding pasca SC.
Kemudian beredar aneka meme
lucu tentang kenaikan BBM, yang pastinya membuat saya tetap tersenyum ditengah
keprihatinan pengetatan budget rumah tangga. Meski kadang ajaib dan nggak nyambung, tapi
cukup menghibur saat terjebak kemacetan di pagi hari.
Hanya saja yang agak mengganggu adalah yang menyamakan kenaikan BBM dengan perokok. Saya bukan perokok dan tak setuju dengan perokok. Tapi kalimat “Rokok 16 ribu bisa beli, BBM naik 2 ribu protes,” itu sangat-sangat tidak logis. Dimana-mana, mau rokok naik berkali-kali lipat pun harga cabe merah sekilonya gak akan berubah neng!!
Hanya saja yang agak mengganggu adalah yang menyamakan kenaikan BBM dengan perokok. Saya bukan perokok dan tak setuju dengan perokok. Tapi kalimat “Rokok 16 ribu bisa beli, BBM naik 2 ribu protes,” itu sangat-sangat tidak logis. Dimana-mana, mau rokok naik berkali-kali lipat pun harga cabe merah sekilonya gak akan berubah neng!!
Banyak juga beredar link-link berita / artikel mengenai
analisa kenaikan BBM, pendapat tentang BBM tak perlu naik dan sebagainya. Saya sendiri
tak tertarik membukanya. Kenapa? Karena saya tidak ahli dalam hitung-hitungan (ngitungin duit project yang cuma segitu aja malah keseringan nombokin, gimana mau ngitung
pendapatan Negara?) akhirnya sekian banyak berita tentang analisa kenaikan/
dampak kenaikan BBM yang nongol ditimeline lewat begitu saja. Malah ada yang
coba-coba tag akhirya malah saya unfriend (lagipula ternyata memang tidak
saya kenal juga :p )
Namun ada satu judul dan link berita menarik, akhirnya saya
buka dan menjadi salah satu pendorong saya menulis catatan ngalor ngidul ini.
Judul beritanya : Habibie: Kenaikan BBM
Miskinkan Rakyat, salah satu link yang di share dari Okezone.
Judul berita ini mengusik penasaran saya.
Bukan karena isinya, namun karena narasumbernya. Setahu saya, Pak Habibie saat
ini sedang terbaring di satu Rumah sakit di Bandung. Kebetulan beberapa waktu
terakhir ini saya ada pekerjaan yang memerlukan berkontak dengan Pak Habibie.
Melalui stafnya saya diinfokan bahwa pak Habibie sedang dalam perawatan
intensif di Bandung. Jadi bagaimana mungkin
beliau di wawancara?
Maka link berita pun saya buka. Sungguh terkejut ternyata
berita itu diterbitkan tahun 2012. Dan sekarang tahun 2014. Topiknya barangkali
sama. Pendapatnya barangkali masih relevan dengan kondisi saat ini. Tapi bagi
saya, berita tersebut sudah tidak lagi aktual. Bagaimanapun unsur kebaruan
waktu bagi saya adalah elemen yang terpenting dalam sebuah berita. Dan berita
tersebut disebar melalui social media. Bagi yang tidak teliti akan termakan
begitu saja lalu kembali meneruskan berita tersebut.
Prihatin, itu yang akhirnya saya rasakan. Kita menjadi mudah
terbawa suasana. Bermodal satu kondisi yang mengganggu kenyamanan, ditambah
aurs informasi yang lalu lalang tanpa penyaring rasa kesal dan benci dengan
mudahnya tumbuh dan berkembang. Ditambah lagi bumbu ini itu – sebutlah dari orang-orang
yang memang berkepentingan, maka jadilah kita boneka. Pekerjaan menggoreng isu
menjadi sangat mudah.
Bagi saya pribadi, kenaikan BBM bukannya tak berarti. Tentu saja
berdampak besar bagi pengeluaran, sementara income tidak mengalami kenaikan. Saya
hanya tidak ingin menambah pusing dengan ikut-ikutan mengeluh dan mencela. Ini
adalah kebijakan pemerintah yang mau nggak mau harus diterima warga Negara. Memang
menyulitkan bagi warga Negara, tapi pastinya tidak mudah juga bagi para
pengambil keputusan mengambil kebijakan yang demikian. Saat ini, saya hanya
bisa mempercayakan kepada pemerintah, demi kehidupan yang lebih baik dimasa
mendatang, demi generasi anak cucu kita dapat mencicipi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik.
Ya ente bisa
tenang-tenang aje, nah gimana itu rakyat kecil, buruh yang nggak punya
penghasilan tetap?jangan liat ke atas doing dong, liat ke sekeliing ente…banyak
yang nggak sanggup beli beras, anak-anak jadi putus sekolah…
Seorang teman sewot begitu mendengar pendapat saya di atas.
Saya pikir, justru ini moment dimana kepedulian kita
terhadap orang lain sedang di uji. Kita tahu ada tetangga yang tidak sanggup
beli beras, kenapa tidak sesekali berbagi makanan? Toh sesekali saja
menghantarkan sepiring bubur kepada orang lain tidak akan membuat kita susah.
Kita tahu ada orang tua yang nggak sanggup menyekolahkan
anaknya, kenapa nggak dibantu? Toh SD – SMP sekarang nggak bayar kok. Buku
paket pelajaran pun dipinjamkan dari sekolah. Dan kabarnya tahun 2015, baju seragam
dan sepatu pun akan difasilitasi dari pemerintah. Masih nggak sanggup beli buku
tulis dan pensil, ya apa salahnya
kita sesekali bantu tetangga membelikan selusin buku tulis dan 2 buah pensil.
Jika tak bisa membantu dalam hal materi, bantulah mereka
dengan informasi. Misalnya, informasi beasiswa untuk anak tak mampu namun
berprestasi, informasi pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan banyak
informasi berguna lainnya yang tak diketahui oleh masyarakat yang membutuhkan.
Mba Yani, perempuan 26 tahun yang setiap pagi membantu saya
di rumah memiliki seorang anak yang berumur 3 tahun, namuanya Nur. Tak jarang
si anak yang cukup lincah itu ikut ibunya ke rumah. Suatu kali, saat sarapan
pagi saya mendengar berita di tv tentang penderita polio. Iseng saya berkata
kepada Nur, “Tuh, kalau takut disuntik, jadi sakit kakinya,” ujar saya. Niat
awalnya benar-benar cuma iseng, sekedar menakut – nakuti. Lagipula polio kan
imunisasinya nggak di suntik :p
Mba Yani yang mendengar ucapan saya malah menjawab “Nur mah
nggak tau disuntik, dia kan nggak di imunisasi,” jawabnya. “Lho, kok nggak
diimunisasi mba?” saya terkejut. “Iya, abisnya kalau ke Puskesmas mahal,
apalagi ke bidan katanya seratus ribu,” . Ya ampuunnnn…rasanya saya ingin
menjerit histeris. Pertama, di bidan itu imunisasi hanya sektar 30 – 40 ribu.
Tarif ini sudah saya cek ke 4 orang bidan yang praktek di sekitar rumah, untuk
jenis imunisasi yang berbeda. Tentunya, kalau mau ke Puskesmas biayanya bisa
lebih murah lagi. Dan lagipula, ada imunisasi yang gratis, masyarakat nggak
perlu bayar, yaitu di Posyandu. Coba cek ke RT/ kelurahan masing-maisng,
biasanya setiap hari Jum’at atau Sabtu.
Dengan sedikit gemas saya ceritakan soal Posyandu, yang
kebetulan saya jabanin waktu imunisasi adek yang ke 3 (lupa jenis imuniasinya).
“Mba, saya kemarin itu di Posyandu kan, itu gratis. Malah pulangnya dikasih
susu sama pisang,” ujar saya. “emang di tempat Mba yani nggak ada Posyandu?”
“Ada Posyandu, tapi kirain saya bayar,” ujar Mba Yani datar.
Huff…. Saya geleng-geleng kepala.
Tapi tidak bisa juga meyalahkan dia yang
tidak terinfo soal Posyandu. Dia tahu soal Posyandu, tapi dia tidak tahu soal
tidak banyarnya. Karena dia tidak terinfo, karena tidak ada yang memberitahu
dia. Salahkan dia kenapa tidak bertanya, tapi lebih salah kita yang tahu tapi
tidak memberi tahu.
Cerita di atas, sedikit menyimpang dari topik. Tapi itu
contoh kecilnya saja, banyak yang dapat kita lakukan untuk orang-orang di
sekitar kita. Masih banyak hal – hal lain yang dapat kita lakukan untuk
mengurangi beban karena persoalan BBM naik, ketimbang protes, mengeluh
menyebarkan berita-berita yang belum tentu relevan dengan kondisi sekarang yang
akhirnya hanya membuat gerah.
Komentar
Posting Komentar