Saya Memilih Setia

Ada satu tempat dimana saya sering melepaskan beban dengan menangis. Bukan dengan memeluk bantal di dalam kamar, bukan pula dihadapan sebotol smirnof pada sebuah minimarket dengan meja-meja kecil di halamannya.

Adalah sebuah kamar mandi berukuran 2x2 di Kantor Singgah. Di dalamnya terdapat sebuah bathub dan shower yang jarang dipakai, sebuah wasthafel dengan cermin dan toilet merek Toto. Semuanya putih termasuk dinding yang dilapisi ubin kecil. Hanya lantai yang berlapis keramik merah bata. Tampilannya biasa, tidak istimewa apalagi terlihat mewah. Namun dapat saya pastikan, kamar mandi tersebut bersih karena setiap sore setelah aktivitas kantor usai, si babe dengan rajin menyikatnya.

Saya sering mengucurkan air mata di sana. Berbagai persoalan tumpah ruah di dalamnya. Pintu yang tertutup rapat, lalu keran yang mengalirkan air. Terkadang saya memutar kran shower dan membiarkan tetes-tetes air membasahi porselennya yang putih. Sementara bulir-bulir air mata pun keluar dengan derasnya. Entah kenapa, segala kejujuran bisa terucap dengan mudahnya. Kesedihan, penyesalan, persoalan, kecewa tak bisa disembunyikan dari dinding-dinding putih itu. Pun ketika bahagia, saya sendiri tersenyum-senyum di depan cermin sambil memain-mainkan air dan mencuci tangan. Tapi memang lebih sering saya menangis.

Jika si kamar mandi bisa bicara, mungkin dia tertawa terbahak-bahak begitu saya dulu menangis karena di PHP - in klien.  Adalah seorang menteri yang harus saya wawancara. Sudah susah-susah meyakinkan sebuah majalah bergengsi untuk wawancara dia. Begitu hari H, bahkan hanya 2 jam sebelum jadwal wawancara, malah dibatalkan hanya karena anaknya mau ujian. Ini terjadi 2 kali. Saya menangis. Kenapa? karena saya kesal. Karena saya malu. maka saya tidak heran jika saya ditertawakan karena menangisi kejadian ajaib itu.

Suatu hari sahabat saya dipanggil yang maha kuasa. Entah apa yang saya rasakan waktu itu. Entah sedih kehilangan dia, entah marah kepada Tuhannya (kami meyakini tuhan dengan cara yang berbeda), entah lega karena dia tak perlu lagi merasakan sakit di ulu hati,...entah. Saya tak menyalakan keran air. Duduk terdiam di tepi bathub dan satu persatu air mata mengalir di pipi. Rasanya hangat, tapi hati terasa dingin (bahkan hingga saat ini jika teringat hari itu). Sejenak saya  menikmati kesunyian. Entah kenapa tak terdengar pula bising aktivitas diluar ruangan. Mungkin semesta kamar mandi ini sedang berempati kepada saya lalu dia membuat dinding-dindingnya menjadi kedap.

Tahun lalu saya menangis karena kecewa. Lagi-lagi si kamar mandi menjadi pendengar yang baik. Ya tentu saja dia toh tidak bisa mengelak :p
Berhari-hari saya datang dengan wajah yang suntuk. Memaki sambil mengusap air mata. Jika saat itu dia bicara, pastinya saya dinasehati untuk tidak berkata kotor.

Tadi pagi tiba-tiba saja saya mengucurkan air mata begitu memandangi outer abu tua yang melapisi tank top biru donker motif bunga yang terlihat dari cermin dihadapan saya. Sepoles make up mulai luntur tersapu tangan yang basah. Lalu saya menangis terisak. Perlahan batu besar yang dari kemarin sore menghantam kepala sedikit demi sedikit berubah menjadi kerikil-kerikil yang hanya menyisakan nyeri. Saya tinggal mengolesi lukanya dengan betadin, beberapa hari kemudian akan sembuh.

Apa gerangan?
Hari ini saya telah memilih. Biarlah hanya teman-teman di kantor singgah yang menikmati penampilan spesial saya hari ini. Rencana bertemu tim medical check up sebuah perusahaan ritel saya batalkan. Dengan berat hati, saya memililh setia. Setia pada profesi saya. My profession is my passion, seperti yang sering saya ucapkan di saat berkelakar dengan teman-teman yang sudah alumni.

Sejenak saya menangisi kebodohan karena melepaskan kesempatan. Apa pendapatmu kamar mandi? saya sempat bertanya sambil menatap ubin merah bata di lantai. Kesempatan untuk menaiki tangga, kesempatan untuk menikmati liburan yang saya inginkan, kesempatan untuk memasuki dunia baru, kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang. 3 dari 4 sahabat saya kemarin sore telah menyuruh saya mengambil kesempatan. Hari ini saya lebih menuruti 1 dari 4 sahabat saya, meski keputusan saya tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya.

Dari sekian banyak alasan, saya katakan kepada bathub yang terkena sedikit cipratan air bahwa saya setia. Saya mencintai profesi saya. Passion saya ada di sini, di dunia yang terkadang saya sangat benci akibat praktiknya yang menyebalkan, namun juga saya cintai karena ketulusan menjadi bagian dari kehidupan di dalamnya.

Saya membaca artikel Tony Fernandes pagi ini. Seorang wartawan Washington Post  berpendapat kesalahan Tony dalam mengetik kata "passenger" menjadi "passanger" menunjukan ketulusannya.
Saya seperti di sentil.

Beberapa bulan ini seolah saya melupakan betapa istimewanya profesi saya. Saya, kami adalah orang-orang yang harus memperhatikan yang terabaikan,  dan membaca yang tak terbaca orang lain. Bahkan kesalahan dalam mengetik satu huruf pun menjadi bermakna bagi saya, bagi kami para PR. Sejenak kemudian saya bersyukur, Tuhan masih memberi saya kesempatan agar  saya menikmati passion saya saat ini.

Lalu saya katakan kepada si kamar mandi, semoga air mata saya hari ini tidak sia-sia.


-- catatan penghibur hati






Komentar

Postingan Populer