Refleksi

Desember sudah datang lagi. 2014 dalam hitungan hari akan berakhir.
Agak sedih sih, mengingat tidak banyak yang saya lakukan tahun ini, malah terkesan banyak waktu dan kesempatan terbuang sia-sia. Tak hanya itu, energi pun rasanya banyak terkuras, untuk hal-hal penting dan juga untuk hal-hal yang nggak penting. Ujung-ujungnya, lelah teramat sangat.

Tuhan pun  juga ingin bermain-main dengan saya. Pelajaran dan ujian hidup yang sesungguhnya akhirnya ia berikan di tahun saya memasuki usia 28 tahun. 

Di awal tahun, kesabaran saya mulai di uji dengan serangkaian masalah di kantor. Ada konflik, yang entah mengapa menjadikan saya sebagai korban yang bodoh sekaligus pelaku yang sadis. Entahlah bagaimana menjelaskannya. Jika dulu seringkali terdengaristilah pembunuhan karakter, maka kali ini yang terjadi adalah pembunuhan motivasi. Semangat dan motivasi yang biasanya selalu berkobar-kobar, tiba-tiba mati. Dan sampai saat jemari saya mengetik refleksi ini, belum ada tanda-tanda si motivasi kembali hidup.

Permainan perasaan lagi-lagi terpaksa saya hadapi. Akhir Maret, rumah bagonjong ampek, rumah kebesaran keluarga saya yang dibangun dengan jerih payah kakek nenek harus mengalah dihadapan hukum perdata negara ini. Bagaimanaun kami berjuang dalam dua belas tahun terakhir, tetap palu hakim jualah yang menentukan. Saya, kami, ibu-ibu saya kehilangan rumah masa kecil. Tapi yang pasti, kami tidak ingin kehilangan semangat.

Perlahan - lahan ibu saya bangkit. Ibu saya, bukan saya. Semula saya pikir ibu akan benar-benar terpuruk sehingga saya memaksanya tinggal bersama saya di perantauan. Ternyata ibu tidak selemah itu. Ia adalah wanita yang kuat. Tak butuh waktu lama, bahkan dalam hitungan hari mereka (ibu saya dan kakak-kakaknya - ibu ibu saya yang lain) mengumpulkan puing-puing yang terserak dari hasil bongkaran. Foto lukis kakek ditemukan di bawah reruntuhan bangunan, foto-foto wisuda kami (saya dan kakak-kakak sepupu) dan barang-barang peninggalan nenek lainnya. Dari hasil pendataan ibu, tidak ada barang-barang berharga yang hilang. Hanya beberapa mangkok yang pecah. Semuanya selamat. Hebat. Saya tahu dalam dirinya, ada kesedihan yang tak akan hilang dari hatinya. Tapi mereka berusaha bangkit. Life must go on!

Lalu saya? 
Meski ada dendam dan marah berkecamuk dalam diri (bahkan hingga detik ini), saya berusaha ihklas. Melupakan potongan-potongan peristiwa itu. Namun terkadang, kenangan akan rumah masa kecil itu kembali menghantui, lalu saya hanya bisa menangis. Ketika sebuah alat berat/ sejenis traktor berhenti di tepi jalan, ketakutan dan marah kembali bergejolak. Akhirnya saya mengetahui sekarang saya menjadi takut dengan traktor. 

Dua tahun berlalu sejak rasa kehilangan pernah singgah di hati saya, Tuhan  kembali mengingatkan bagaimana rasa itu. Saya kehilangan seorang sahabat, kakak yang pernah sangat saya sayangi. Tuhan memanggilnya. Dan yang membuat rasa tersebut semakin kosong, bahwa saya belum sempat menyampaikan maaf. Saya belum sempat memberikan penjelasan kenapa pada sore itu dia tidak bertemu saya. Hanya sebuah penjelasan yang sangat singkat, namun kenapa saya begitu enggan menyampaikannya dan malah menyimpannya selama 8 tahun ini. Saya hanya ingin minta maaf. Hanya itu.

Lalu cen tiba-tiba menghilang. Entah kenapa. Saya tidak bisa menghubunginya sejak September. Saya bahkan tak bisa mengikuti jejaknya. Lagi-lagi rasa takut kehilangan itu muncul. Dulu saya menjaga Edo karena takut kehilangan Cen. Sekarang, saya tak ingin kehilangan Cen. Sebut saja  saya tak ingin kehilangan Cen demi menjaga jejak Edo. Alasan tersebut benar adanya. Namun saya juga sayang dia. Saya sayang Cen karena dia kakak yang menyayangi adik seperti saya. Where are you sister?

Lalu Tuhan juga memberi saya hadiah. 
 Ia bermata bulat tajam, berwajah indah. Saya menamainya Ananta. Ia akhirnya menjadi alasan saya untuk bertahan. Ia yang menjadi alasan saya untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Hidup selayaknya manusia normal. Ia yang menjadi alasan saya tetap mengucapkan syukur kepada sang Pencipta. Ia yang akhirnya menjadikan saya kembali dekat dengan Nya. 

Saya tahu Tuhan telah mengatur semuanya, menghadirkannya tepat pada saat janji dua tahun yang lalu harusnya terlaksana. 

Terimakasih Tuhan, atas pelajaran, ujian dan segala karunia Mu kepada kami.

 

Komentar

Postingan Populer