Serangan Fajar Versi Gw

Beberapa hari ini, perhatian gw terhadap dunia perpolitikan ibukota mengalami peningkatan. Keinginan gw untuk membaca laman-laman koran pagi yang memuat berita-berita mengenai “11 Juli” lebih besar ketimbang buka halaman energi yang memuat kebijakan kenaikan harga gas. Banner-banner pada situs berita onlen yang langganan gw buka tiap sore  yang berkerlip kerlip dengan tulisan menuju Jakarta 1 pun tiba-tiba eye catching banget. Dan gw pun lalu mengarahkan si nyingnying ke sana, dan “KLIK”

Semua berawal hari Minggu sore 2 minggu yang lalu, ketika gak sengaja buka twitter (jarang-jarang gw buka twitter di hari minggu dan di rumah pula). Tiba-tiba saja timeline gw jadi penuh banget sama testimoni positif untuk cagub n0 5, pasangan Faisal Basri dan Biem Benyamin. Tentu saja, testimoni itu diiringi dengan sumbernya, si pemilik akun @panji, dan dilengkapi pula dengan link blognya dia, sebuah tulisan dengan judul Gimme 5.
Ckckckkcc……orang ini lagi… (ini ungkapan sebenernya lebih merujuk pada WOOOOWWWWW)
Gw mengenal tokoh yang satu ini (dipastikan dia tidak kenal gw). Gw mengenal karya-karyanya, pemikirannya dan sepak terjangnya yang (tentu saja) turut  mempengaruhi sikap dan pola pikir gw sebagai generasi muda. Dan kali ini, apa yang dia lakukan – gw g heran kalau ternyata membawa dampak yang cukup besar. Lagi-lagi ketidak heranan gw itu terbukti.
Senin-Selasa-Rabu-Kamis…
Twitter semakin seru.
…menyentil orang-orang yang selama ini tak peduli menjadi peduli.
…mengajak orang – orang yang sudah fanatik dengan tokoh tertentu untuk sejenak   untuk meluangkan waktu memahami apa dan siapa Faisal Basri.
…bahwa sebenarnya kita masih peduli dengan Jakarta, hanya saja kadang tidak tau bagaimana cara melakukannya
…dan akhirnya gw menyesal kenapa gw gak punya KTP Jakarta… padahal lima hari dalam seminggu gw habiskan di Jakarta
“Nye, gw nyesel deh gak punya KTP Jakarta,” itu pengakuan gw ke Gindut hari minggu kemarin, dan gw sungguh-sungguh (gak lagi becanda). Kalo diliat pose gw waktu itu, udah pantes dibilang  gaya tergalau 2012 – duduk di jok belakang  sambil menatap macetnya jalanan sekitar Cilandak.
Seumur-umur, baru kali ini gw benar-benar memikirkan pilkada, pilkada DKI lagi. Siapa cagub di Padang aja gw gak pernah tahu, lalu sekarang bisa-bisanya gw merasa sedih krn gak bisa kasih suara buat jagoan gw.
Kenapa kali ini gw bisa begitu peduli?
Karena ada harapan. Karena gw inginkan perubahan.
Gw, elo, kita semua ingin perubahan.
Kehadiran pasangan berbaju kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku ini memberi harapan baru bagi gw (semoga banyak warga Jakarta lainnya percaya dan menaruh harapannya pada Faisal-Biem), agar ibukota ini menjadi lebih beradab dan berperikemanusiaan. Secara administratif, gw bukan warga Jakarta. Tapi otak dan hati gw bilang, gw cinta kota ini.
Sedikit gw mau cerita obrolan gw dengan seorang teman di Malioboro, saat gw dan Gindut melakukan “escape from this faking l*ve” Februari yang lalu. Sebenarnya gw baru mengenal dia satu hari sebelumnya. Seorang mahasiswa jurusan hukum di sebuah universitas di Jogja. Dia mahasiswa dan gw mantan mahasiswa. Lalu obrolan mengalir begitu saja. Aktivitasnya di kampus, mata kuliah, ujian-ujian, hobi, hal-hal yang ingin dia lakukan, aktivitas gw, pengalaman – pengalaman liputan gw, cerita hari-hari gw dikampus dulu…Cukup 3 jam, dan gw pun berhasil menyimpulkan : inilah tipikal yang disebut apatis.
Dia kecewa melihat apa yang terjadi disekelilingnya. Kampusnya, kotanya, pemimpin negaranya. Oknum-oknum di negara ini membuatnya sakit kepala. Pihak-pihak yang ingin memanfaatkan mahasiswa membuatnya terjebak dalam politik “salah kaprah” — bahasa lainnya gw sebut brain wash. Gw seperti melihat diri gw 7 tahun yang lalu, terjebak dalam gejolak perubahan yang dikendalikan sejumlah tokoh yang mengaku idealis–dan sekarang mereka justru menjadi bagian dari oknum-oknum itu.
Pada saat itu, gw bilang ke gindut “Nye, hari ini kita ketemu satu di Jogja. Mungkin banyak di kota-kota lain yang begini. Kalo gak ada yang peduli, mau jadi apa endonesa ya?”
Waktu itu dengan sedikit becanda kita sepakat bahwa gw dan gindut, sebagai generasi yang lebih duluan diwisuda harus mengembalikan anak ini (gindut pada akhirnya berhasil menjadikan dia “anaknya” wkwkwkwk….) ke jalan yang benar a.k.a mengembalikan kecintaannya pada negeri tercinta ini. Syukur-syukur dia mau angkat senjata melawan penjajah.
Gw, dengan pedenya bilang “nanti gw kirimin dia NasionalIsMe nya Panji deh”
Tapi pada kenyataannya, setelah beberapa hari balik ke Jakarta, justru Gindut yang kirimin dia ebcook nya buku keren itu. :p
Oke, itu sekilas cerita dengan latar Jogja.
Sekarang mari gw ajak balik ke Jakarta
Bicara mengenai Faisal – Biem, gw bersama teman-teman di markas pernah ikut bantu selenggarakan  sejumlah acara penggalangan dana yang dia lakukan. Dari situ gw mulai memahami sepak terjangnya. Berawal hanya sekedar membantu, lalu mengakui pemikirannya, dan berakhir dengan mempercayainya.
Setelah itu, Faisal-Biem kerap kali menjadi topik pembicaraan disela-sela makan siang kita. Namun lagi-lagi gw menemukan sikap menyerah. “Tapi tetep aja, dukungan KTP aja gak cukup,” atau “Susah mah kalo gak ada pemodalnya,”  atau “yah yang realistis ajalah, siapa yang udah pegang Forkabi dan FPI?” kira-kira seperti itu yang kerap kali gw dengar. Otak gw mencoba menerjemahkan, dan hasilnya jadi seperti ini: lo gak perlu buang-buang suara lo untuk sesuatu yang gak mungkin
Haaahhhh….fak… fak… faaaaaaak!!!!!
Gak ada yang gak mungkin kawan
Ternyata tak perlu jauh-jauh ke Jogja, di Jakarta pun, bahkan dengan jarak interaksi dengan gw yang tak lebih dari 1 meter setiap harinya, ada orang-orang yang kecewa, lalu menjadi tak peduli. Ada diantara mereka memiliki hak pilih esok. Entahlah, apakah dia akan menggunakannya atau tidak. Jikapun mereka menggunakan, apakah digunakan dengan bijak atau hanya ikutan memilih mana yang berpotensi menang.
Hari ini, dalam perjalanan pulang ke rumah gw kembali memantau pergerakan dukungan melalui twitter dan facebook untuk Faisal dan Biem. H-1 jelang pencoblosan, semakin banyak dukungan yang bergulir. Banyak yang menyatakan akan mencoblos no 5 esok hari, banyak juga yang hanya bisa memberikan dukungan dikarenakan tak terdaftar sebagai pemilih. Namun, lebih dari itu, yang membuat gw bersemangat adalah adanya kesadaran pemilih yang tadinya memilih golput untuk menggunakan hak suaranya. Menjadi golput berarti menyia nyiakan hak nya sebagai warga. Kalau terhadap hak kita saja kita sudah tak peduli, bagaimana dengan kewajiban?
Semangat yang bermula dari twitter ini  membawa satu perubahan berarti bagi kita. Panji mengawali  kicauannya, menulis pada blog pribadinya. Tak lama kicauan-kicauan lainnya pun terdengar, menyusul tulisan-tulisan yang penuh inspirasi yang menunjukan Faisal – Biem adalah sosok yang diharapkan membawa perubahan pada Jakarta. Gw pun ikutan menulis malam ini – membuat serangan fajar versi gw.
Entah ada yang membaca atau tidak
Entah ada pengaruhnya terhadap perolehan suara faisal – biem atau tidak
Satu hal yang ingin gw katakan: Jangan menyerah Kawan. Nothing impossible
Gw pun teringat teman (yang sekilas kisahnya sudah gw ceritakan diatas). Gw ingin dia tahu, di Jakarta ada satu tokoh yang layak di jadikan pemimpin. Ada calon pemimpin dimana masyarakat dapat menyandarkan harapannya. Ada satu orang yang tidak hanya mengumbar janji, namun mau bersama masyarakat bersama-sama membangun kotanya. Gw ingin dia sadar, bahwa sudah waktunya berhenti bersikap tak peduli dan mulai kembali membangun mimpi akan sebuah negeri yang indah. Gw ingin dia ikut menularkan semangat ini kepada pribadi-pribadi lain yang mungkin saat ini bersikap sama: apatis dan menyerah.
Memang, kali ini tokoh itu muncul di Jakarta.
Esok atau lusa, bisa jadi si tokoh perubahan muncul di Aceh, Medan, Palembang, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Surabaya, Jogjakarta, Nusa Tenggara, Ambon, Maluku, Papua…dari sabang sampai Merauke. Dan mereka hanya akan muncul jika gw, elo, kita semua dapat menjaga kepedulian terhadap negara ini.
Ini satu petikan dari salah satu tulisannya panji yang berjudul Jakarta untuk Warga
Ingat ini baik baik:
mungkin kita menang, mungkin kita kalah, tapi setiap individu yang berjalan ke bilik suara utk mencoblos nomor 5, adalah sebuah pernyataan.
Setiap individu yg mencoblos FaisalBiem, adalah jari tengah kepada politik busuk.
Setiap individu yg mencoblos FaisalBiem, adalah kepalan perjuangan terangkat ke atas.
Setiap individu yg mencoblos FaisalBiem, adalah doa memohon kebaikan bagi Jakarta
Seandainya nanti, apa yang gw harapkan tidak terjadi (tapi kali ini gw berdoa, baru kali ini gw meminta pada Tuhan untuk orang lain yang tidak kenal gw sama sekali), kita tidaklah kalah. Faisal-Biem, bagi gw tetaplah dua orang pemenang. Melalui mereka, gw kembali melihat semangat, harapan dan sikap yang inginkan perubahan. Hanya pemenang yang bisa melakukan itu.

Komentar

Postingan Populer