Pernahkan kamu merasa bimbang?

Saya sedang merasakan itu. Lantaran terlalu banyak persimpangan yang saya lihat akhir-akhir ini. Tak hanya perasaan saja yang merasakan bimbang, lingkungan saya pun akhir-akhir ini seperti ingin berkata sesuatu, entahlah, seperti sebuah pesan. Tapi saya tidak bisa memahami basaha alam. hanya bisa mereka-reka, apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan.

120 menit yang lalu, saya bertemu mantan atasan di kantor saya sebelumnya. Rasanya kata "atasan" tidak tepat saya gunakan, mungkin sebaiknya saya gunakan istilah "senior" saja. Sang senior, yang dulu akrab kita sapa dengan Akang Y tadi siang datang ke kantor saya, katanya dia ada sedikit urusan. Kebetulan juga, tempat dia harus mengurus urusannya itu bersebelahan dengan ruangan saya. Jadilah tanpa sengaja kita bertemu yang akhirnya di teruskan dnegan obrolan ringan.

Apa kabar? Sejak kapan disini? Sepertinya betah? Apa tidak ingin kelapangan lagi?

Pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa saya dengar bila teman-teman yang dulu mengisi hari-hari saya di KPU dan Bawaslu kebetulan bertandang ke sini, sebuah institusi yang sedang menata ulang tubuhnya. Sekoci dimana saya akhirnya menumpang setelah sekoci yang lama akhirnya kandas jua meski seluruh awaknya telah menguras tenaga menambal kebocorannya.

Kembali ke Akang Y, laki-laki murah senyum ini juga salah satu awak yang pernah menyumbangkan tenaganya menambal sekoci yang bocor itu. Namun, kemana ia melompat, saya tidak pernah tahu. Saya juga tidak menanyakannya.

Dalam obrolan kami tadi siang, (lagi-lagi) menyerempet kenangan lama itu.

"Iya, saya juga dengar kabar itu, tapi apakah saya mau kembali bergabung, saya juga belum tahu...gimana ya..ada sih, mungkin karena...saya juga g bisa jelaskan ketertarikan itu, tapi setelah saya pikir-pikir...melihat orientasinya, sudahlah. Kita harus pikirkan masa depan. Kalau sekarang saya punya kesempatan, dengan peluang saya yang baru, saya lebih baik konsentrasi dengan ini, meski saya juga masih merintis, tapi lebih baik saya kerjakan yang ini. Untuk 2 sampai 3 tahun, yang saya kerjakan sekarang rasanya terjamin. Saya..saya tidak bermaksud mempengaruhi kamu, tapi ya...kita lihatlah..kamu juga sudah mengerti maksud saya...dst,"

Buntutnya...saya (lagi-lagi) ditawari. Bukan bermaksud membanggakan diri, tapi itu justru membuat saya menderita sakit psikologis akut.Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih kepada teman dan senior yang sudah "melihat dan menghargai" apa yang saya dan kita lakukan dalam 12 bulan itu.

Dan mungkin, tak hanya saya yang selalu gundah bila bicara topik "sekoci kandas" yang kabarnya akan kembali berlayar, ataupun kabar tentang "sekoci-sekoci" baru yang juga ingin arungi samudra. Ketika menghabiskan malam di sebuah warung kopi daerah Margonda dengan sang Biji Oxo, kita selalu menyinggung kabar itu. Di satu sore, berbincang dengan si Uni yang sekarang ikut merumput bersama saya di lahan yang lumayan hijau, dia juga bertanya apakah saya ada keinginan untuk kembali berlayar. Kembali ke sekoci lama, ataukah menaiki sekoci baru yang sedang mencari awak?

Lalu sejumlah percakapan singkat ataupun panjang dengan teman-teman lapangan lainnya.....temanya tak pernah berbeda.

Teman saya, Biji Oxo yang sekarang mengabdi pada Gupermen beberapa hari yang lalu sempat membuat ricuh di Facebook. Sebuah tulisannya (hasil sms-sms nakal kami) mengakibatkan kutu-kutu Ampera bangkit. Kurang dari 48 jam, tercatat 65 komen. Apalagi kalau bukan tentang kisah sang sekoci yang kabarnya ingin bangkit lagi.

Terbukti, tak hanya saya yang masih di bayang-bayangi kisah tentang sekoci, tapi juga Biji Oxo dan juga biji-biji lainya. Meskipun yang lain sudah berkecambah, tapi tetap saja, bayang-bayang itu masih ada. Termasuk Akang Y, meskipun sudah menakhodai perahu baru, tetap saja terusik kabar itu.

"Tapi tampaknya kamu sudah tidak berminat kembali ke lapangan, " ujar Akang Y, memecah lamunan saya. Cangkir berisi teh hangat hampir saja terlepas dari genggaman. Seakan, dia telah salah menilai, bisa juga dia dulu memiliki penilaian terlalu tinggi kepada saya sebagai awak yang bisa diandalkan. Ternyata saya hanyalah pelaut yang kembali ke darat ketika dayungnya patah.

Benarkah demikian?

Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah saya benar-benar sudah meninggalkan habitat yang pernah sangat saya nikmati itu?

Sejauh ini, saya hanya menemukan beberapa alasan menagapa saya ada di sini:

1. Bertahan hidup

2. Lelah dengan mulut manis para politikus (meski sebenarnya saya masih terbenam dalam lumpur politik)

3. Ada peluang lebih besar mewujudkan cita-cita: berguru ke negeri cina.

4. Ingin melakukan sesuatu demi kemajuan bangsa (hahahahaha....terdengar sangat naif, tapi ini benar-benar muncul setelah 3 bulan saya di sini. sungguh!!!)

Sampai saat ini saya bimbang,

Apakah 4 alasan saya itu, membuat hidup saya terlihat sangat menyedihkan?

Baru saja saya kirim sms ke seorang teman, Biji Oxo, tapi dia belum berikan jawaban...mudah-mudahan dia tidak ikut-ikutan bimbang

Komentar

  1. Biji Oxo tidak hanya hobi membuat kericuhan di Facebook, tapi juga di hutan Malar, sampai-sampai ia dapat hadiah buku "Hasrat untuk Berubah" dari tetua gupermen.

    Pantauan terakhir, komen sudah mencapai 72 biji! Hihi..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer